Friday, January 25, 2008

“GONJANG-GANJING KELANGKAAN KEDELAI”

Bangsa ini telah menjadi bangsa yang latah dan senang dengan gonjang ganjing. Setiap timbul satu persitiwa atau masalah akan menjadi pembicaraan hangat dimasyarakat. Tidak jarang dalam satu pekan isu atau topik tentang masalah atau persitiwa yang terjadi akan diperdebatkan secara terus menerus, tanpa ada solusi yang berarti. Sikap pemerintah pun sama saja, bahkan tidak lebih sebagai petugas “Pemadam Kebakaran”.

Dua pekan terakhir ini masalah kelangkaan kedelai mengemuka kehadapan publik, meskipun sebenarnya masalah ini sudah ada sejak dulu, tetapi tidak seheboh seperti saat ini. Kelangkaan kedelai ini telah mendorong ratusan orang pengrajin yang berhubungan dengan komoditi kedelai ini, seperti pengrajin tahu dan tempe turun kejalan dan mendatangani kantor presiden. Entah apa dan bagaimana hasil pertemuan antara perwakilan pengrajin dengan pemerintah hingga saat ini pun masyarakt tidak pernah tahu. Yang pasti, masalah kelangkaan komoditi kedelai ini makin membukakan mata kita betapa bangsa ini telah berada diambang “kebangkrutan”.

Kasus gonjang ganjing kedelai ini bukan hanya sekedar contoh, tapi telah menjadi “sasmita telanjang” bagi seluruh rakyat bahwa ungkapan “tikus mati di lumbung padi” bukan hal yang mustahil akan terjadi di republik ini. KEDELAI dengan berbagai produk turunannya seperti tahu, tempe adalah merupakan kebutuhan pokok sebagian besar warga masyarakat. Belum lagi bagi sumber kebutuhan industri peternakan, ternyata kedelai inipun menjadi salah satu bahan utama dalam produksi pakan ternak. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kedelai ini merupakan komoditi dasar dan utama bagi rakyat di republik ini. Ternyata sebagai kebutuhan dasar rakyat, hal ini tidak pernah menjadi perhatian penting bagi pemerintah. Bahkan hanya dipandang sebelah mata.

Jika kita urai masalah yang menggerogoti bangsa ini, sumber masalah utamanya adalah ketidak becusan para pengelola negara dalam mengurus republik ini. Coba bayangkan betapa besarnya sumber daya yang dimiliki oleh negara ini, baik sumber daya alam yang begitu berlimpah, dan sumber daya manusia yang cukup banyak. Tapi apa yang dapat kita saksikan. Ternyata sumber daya alam yang luar biasa besarnya itu sama sekali tidak dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jutaan hektar lahan tidak dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar (pokok) masyarakat. Pemerintah yang terdiri dari orang-orang hebat, profesor, para pakar dalam berbagai disiplin ilmu dan diberi mandat untuk mengurus kekayaan negara yang demikian besarnya itupun tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya.

Pikir-pikir, kita rakyat ini serasa dibodohi mentah-mentah oleh para pejabat pemerintah. Setiap hari para pejabat pemerintah selalu bicara akan memakmurkan dan mensejahterakan rakyat. Para pejabat dengan ucapan dan gaya yang berapi-api setiap bicara di forum-forum rapat, seminar, saat diwawancari oleh wartawan selalu ngomong soal rencana-rencana yang telah diputuskan untuk mengatasi semua masalah yang timbul. Namun kenyataannya apa yang kita saksikan. Semua hanya “OMDO”, --omong doang –

Senyatanya, pemerintah tidak memiliki visi yang jelas bagaimana upaya mensejahterakan rakyat. Pemerintah tidak mempunyai kreasi yang jitu. Justru yang terlihat adalah kemalasan demi kemalasan, dan semuanya serba instan yaitu dengan melakukan “kebijakan impor”. Coba kita lihat, apa yang tidak diimpor dari negara lain. Padahal, di republik ini semuanya sudah tersedia, tinggal mengolah dan memanfaatkannya.

Sejatinya, pemerintah tidak memiliki visi untuk menggerakkan rakyat sebagai sumber tenaga kerja yang handal dalam mengolah kekayaan alam yang kita miliki. Sehingga, tidak perlu terjadi pengangguran yang luar biasa. Tapi langkah apa yang diambil oleh pemerintah, justru yang dilakukan adalah “kebijakan ekspor TKI”. Kenyataan ini memang sebuah ironi dan sangat paradoks dengan cita-cita para pendiri bangsa pada saat memproklamirkan kemerdekaan republik ini.

Betapa sedihnya kita sebagai anak bangsa, karena kedunguan para pengelola negara mengurus republik ini, maka suatu saat nanti akan terbukti ungkapan diatas “TIKUS MATI DI LUMBUNG PADI”!





Monday, October 01, 2007


Goenawan Muhamad : "Liberalisme adalah Suatu Skandal"
Pengantar

"Liberalisme adalah suatu skandal," tulis Goenawan Mohamad dalam mengenang G30S. Ini saya kutip dari Catatan Pinggir bertajuk 'Gestapu' dalam Majalah TEMPO yang terbit pekan ini. Silakan Anda nikmati tulisannya:

_________________________________


Tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembunuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah jenderal, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang bukan jenderal dan tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau disiksa.

Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, “Gestapu”, seperti kita menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya.

Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang saya kira terpendam di hati orang banyak: keinginan untuk mampu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan berulang. Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi.

Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah “Orde Baru” runtuh, setelah sebuah pemerintahan yang stabil -- tapi bersandar pada kapasitasnya membangun rasa takut – ambruk. Tapi segera terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa curiga antar kelompok, kebencian, paranoia dan waswas yang diperkuat oleh agama, seakan-akan malah bergelombang datang. Indonesia nyaris habis harapan. Semuanya seakakan-akan mesti berakhir dengan membunuh.

Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersama – bisa disebut “masyarakat”, “komunitas”, atau “bangsa” -- yang akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya cara bersaing dan bersengketa? Para optimis mengatakan, tak mungkin. Sengketa dan kekerasan bukanlah pola dalam sejarah. Tiap kehidupan bersama selalu mengandung keinginan bersama untuk “masyarakat yang baik” dan kapasitas untuk mencapai mufakat. Bahkan binatang buas berdamai dalam puaknya.

Tapi benarkah “selalu”? Benarkah kita senantiasa begerak untuk mufakat? Katakanlah tiap orang, tiap kelompok, memang menghendaki “masyarakat yang baik”, tapi apa gerangan yang “baik”? Selalukah yang “baik” bagi kami juga “baik” bagi mereka?

Zaman ini yang berbeda dan ganjil berduyun-duyun masuk ke dalam pengalaman – dan kita ragu adakah nilai yang universal. Kondisi “pasca-modernis” datang. Seorang pemikir seperti Richard Rorty bahkan menunjukkan, nilai-nilai selamanya contigent, tergantung, kepada waktu dan tempat. Apa yang “baik” selamanya dipengaruhi konteks. Sebab itu jangan dipaksakan. Bahkan keyakinan kita sendiri tentang “baik” dan “buruk” perlu dicampur dengan satu dosis besar ironi.

Pandangan seperti ini memang membuka ruang luas toleransi. Kita tak bisa jadi fanatik memeluk ide-ide besar. Tapi ada yang boyak; ia tak cukup memberi dasar bagi langkah politik untuk membangun kebaikan bagi sesama. Tentu, Rorty tak menganggap kita bisa selamanya berdiri di tepi dengan senyum ironis. Baginya, tak ada alasan untuk berpangku tangan ketika kekejaman terjadi.

Rorty memang tak menampik tumbuhnya rasa solidaritas antar manusia. Tapi bagaimana rasa solidaritas itu mungkin? Bagamana ia bisa memadai untuk membentuk sebuah kekuatan pembebas, jika keyakinan tentang nilai-nilai yang universal, yang menggerakkan siapa saja, cair oleh ironi?

Memang, liberalisme Rorty bukan formula untuk bunuh membunuh. Tapi ia tak bisa memberi jawab bagi keadaan yang mungkin tak dialaminya. Rorty begitu betah dengan hidup nyaman Amerika-nya. Tapi ada kondisi lain, di mana politik bergerak bukan karena keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana gagasan tentang “masyarakat yang baik” bukan imajinasi waktu senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan.

Di sini liberalisme ala Rorty bisa semacam skandal. Tak mengherankan dalam latar umum Afrika, Asia, dan merika Latin, orang pernah dengan bahagia mendapatkan analisa dan inspirasi dari yang lain: Marxisme. Marxisme punya satu imbauan universal: cita-cita tentang masyarakat tanpa kelas. Tapi juga Marxisme bisa ampuh karena melihat nilai-nilai sebagai sesuatu yang tak datang dari luar sejarah. Marxisme merayakan dinamika dan perubahan.

Tak mengherankan bila beribu-ribu orang pun bergerak, dengan sakit dan miskin, dengan jiwa dan raga. Yang tragis ialah bahwa Marxisme – sebuah alat diagnostik yang cemerlang -- ternyata sebuah terapi yang gagal. Bahkan Cina murtad. Apa yang tersisa dari Marxisme di sana sekarang, dengan kemajuan ekonomi yang membuat orang terkesima? Hanya sebuah partai komunis yang tak percaya kepada imannya sendiri.

Maka pada suatu saat orang pun membaca Habermas. Ia meyakinkan kita bahwa ada rasionalitas yang bisa membawa apa yang “baik” melintasi batas ruang-dan-waktu. Komunikasi adalah laku yang tak asing. Dalam situasinya yang ideal, komunikasi dapat menghasilkan mufakat tentang “masyarakat yang baik”.

Tapi tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat bahwa dorongan untuk bermufakat berakhir dengan pembunuhan. Indonesia adalah sebuah republik yang luka ketika besikeras membentuk konsensus. Kini kita takut berilusi: bisakah kita sepakat tentang “masyarakat yang baik”? Akan adakah situasi percakapan yang ideal?

Siapa yang takut mimpi perlu memanggil mambang Marxisme. Kita akan bisa melihat – seperti Laclau memanggil roh Gramci – bahwa mufakat tak datang dengan sendirinya. Ia hasil pergulatan hegemoni. Dan dengan Marxisme yang radikal yang memandang sejarah sebagai perubahan, kita akan mengakui bahwa hegemoni itu tak akan abadi. Pengertian dan konsensus tentang “masyarakat yang baik” tak akan kekal. Kekuasaan yang menjaga konsensus itu tak akan selamanya bisa memenuhi cita-cita.

Itu sebabnya kita memilih demokrasi sebagai sistem yang mengakui kekurangan manusia. Kita lebih berendah hati. Maka sambil mengakui pergulatan politik akan berlangsung terus menerus, kita tak perlu bersiap dengan darah dan besi. Ongkos akan terlalu mahal – seperti 30 September dan 1 Oktober 1965 – untuk sesuatu yang tak akan sempurna dan selama-lamanya.

Sumber: TEMPO

Saturday, September 29, 2007


Lensa di Ujung Peluru

Kekerasan junta militer di Myanmar menambah panjang kidung kematian masyarakat tak berdosa di negeri seribu pagoda itu.
Pilihan penguasa Myanmar menggunakan senjata api untuk menghalau pengunjuk rasa yang diprakarsai para biksu muda tampaknya menjadi momentum menumbuhkan kembali semangat perlawanan massa prodemokrasi sejak junta militer berkuasa di negeri itu pada 1962.


Sejak pemerintahan militer pimpinan Jenderal Senior Than Shwe (74) memutuskan kenaikan BBM pada 13 Agustus 2007, gelombang unjuk rasa besar-besaran dari para aktivis gerakan pro demokrasi terjadi mulai 19 Agustus 2007, tetapi pemerintah kian represif menahan mereka. Meskipun tekanan internasional terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan junta militer Myanwar telah disampaikan, seperti dari Sidang Umum ke-28 Majelis Parlemen ASEAN di Malaysia 18-24 Agustus 2007 dan Komisi HAM PBB, tetapi krisis politik di negeri berpenduduk 46 juta itu makin memburuk. Dalam sebelas hari terakhir bahkan kian banyak korban berguguran ditembaki serdadu-serdadu Myanmar.

Setelah menyisir, menyerbu dan menembaki sejumlah biksu di biara-biara kota Yangoon, ratusan serdadu juga merangsek ke Pagoda Sule, peribadatan penting kaum Buddha Myanmar karena ditengarai menjadi tempat pelarian sejumlah biksu-biksu pembangkang. Belasan korban gugur dan dua ratusan cedera dalam kekerasan berdarah tersebut.

Kenji Nagai, 52 tahun, yang sehari-harinya bekerja sebagai pewarta foto dan jurnalis video kontrakan di APF Jepang tercatat sebagai salah satu yang gugur akibat kesewenangan pemerintah otoriter Myanmar tersebut. Tragedi berdarah di sejumlah biara dan pagoda keramat tersebut menambah panjang deret ukur para wartawan dalam mengemban tugas jurnalistiknya. Foto saat-saat Kenji menghadapi sakratul maut, Jumat (28/9), terhidang dalam halaman utama koran-koran di dunia.

Foto dramatis tersebut adalah imaji hasil bidikan seorang fotografer lepas yang memperlihatkan bagaimana Kenji yang tergeletak cedera di jalan raya masih berupaya mengarahkan kamera videonya ke arah massa yang sedang berlarian menghindari peluru-peluru tajam yang menyembur dari serdadu militer yang panik. Di sisi kanan Kenji yang mengenakan kemeja kotak-kotak biru lengan pendek dan celana pendek, terlihat seorang serdadu Myanmar mengenakan sandal hitam tengah berlari mengejar para demonstran sambil mengarahkan moncong senjata serbu M-16 ke arah tubuhnya. Sedangkan foto lainnya memperlihatkan tubuh kenji sudah tergeletak tak berdaya, tangannya kaku menyentuh aspal. Beberapa saat kemudian pihak Kedubes Jepang di Myanmar menyatakan salah satu jenazah yang ditemukan dari tragedi tersebut adalah Kenji Nagai.

Saksi mata mengatakan bahwa Kenji ditembak dari jarak dekat oleh militer Myanmar yang memang sangat alergi dengan kehadiran wartawan, apalagi pewarta asing yang melakukan liputan di wilayah kekuasaan mereka. Wartawan paruh baya tersebut empat hari yang lalu bergabung dengan massa demonstran yang menuntut perubahan politik di Myanmar yang dikuasai junta militer yang arogan. Kenji masuk ke bekas ibukota Myanmar tersebut sebagai turis, untuk menghindari pemeriksaan berlebihan junta militer yang sangat ketat membatasi keberadaan wartawan asing dalam wilayah mereka.

Kerusuhan terbesar yang tercatat dalam dua dekade belakangan ini membawa eskalasi baru dalam peta politik Myanmar, termasuk maraknya kegiatan liputan visual yang merepresentasikan kondisi politik di negeri yang sangat kuat dominasi militernya.

Foto berita, apalagi yang menyangkut militer Myanmar di dalamnya praktis menjadi kegiatan yang sangat sulit dilakukan. Keterkekangan medan liputan fotografi jurnalistik yang berlangsung di tanah Myanmar pada dasarnya hanya dapat disaingi oleh tindak tanduk rezim militer Korea Utara.

Melakukan tugas foto jurnalistik di Myanmar praktis bisa dikatakan terlarang. Bahkan untuk melakukan pemotretan di kawasan Pagan, kawasan situs arkeologi yang terletak di propinsi Mandalay, yang terletak di jantung wilayah Myanmar. Pemerintah junta bahkan menampik upaya UNESCO untuk mempromosikan kompleks pagoda Pagan, peninggalan kerajaan Burma yang pertama sebagai situs warisan budaya dunia. Junta militer yang lebih senang membangun lapangan golf, dan bahkan menara pengawas setinggi 61 meter, di kawasan bersejarah dan pusat kejayaaan Kerajaan Dhrawati dengan rajanya yang sangat terkenal Anawhrata (1044-1077) itu.

Sepanjang pekan ketiga bulan September ini, Yangoon tercatat sebagai kota berikutnya yang tercatat sebagai tanah kematian wartawan yang tengah melaksanakan amanat tugas jurnalistiknya.

Menurut catatan CPJ (Committee to Protect Journalists), lembaga perlindungan pers independen yang didirikan di Washington DC pada 1981, pada periode Januari 1992-28 Juni 2007 telah 636 wartawan gugur berkaitan dengan tugasnya. Lembaga tersebut merinci 72,7% di antaranya tewas karena pembunuhan terencana yang dilakukan berkaitan dengan tugas jurnalistiknya, disusul liputan perang dan kekerasan 27,2%, sedangkan mesin pembunuh yang paling sering digunakan adalah senjata api ringan (51%), senjata api berat (15,6%), ledakan (9,4%), pisau (7,1%). Penganiayaan dengan tangan kosong mengakibatkan 3,3% dari angka kematian tersebut. Sementara wartawan media cetak tetap tercatat sebagai korban tertinggi (58,2%), disusul TV (25,8%), radio dan internet (19%).

Masih menurut catatan CPJ, dalam empat tahun terakhir ini, tercatat 57 jiwa jurnalis yang tewas (2004), 48 pewarta (2005), 56 pewarta (2006) dan hingga 28 Juni 2007, sudah tercatat 24 jiwa wartawan yang gugur dalam melaksanakan tugasnya, belum termasuk mendiang Kenji yang gugur kemarin siang.

Gugurnya Kenji, demi mewartakan kesaksian visual dari suatu pengkhianatan terhadap demokrasi, sesungguhnya tidak sekadar menambah panjang catatan statistik wartawan yang tewas di medan liputan, namun juga mendudukkan profesi jurnalistik selalu dalam bahaya yang seolah-olah tak terelakkan dalam fungsi sosialnya sebagai pengawas dalam penyelenggaraan kenegaraan bagaimanapun tingkat kebobrokannya.

Belum lagi kondisi yang sangat ironis perihal eksistensi profesi pewarta foto dunia ketiga yang secara umum memang belum mendapatkan proteksi (asuransi dan bentuk perlindungan jiwa lainnya) yang memadai dalam menjalankan tugasnya. Entah yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga pers independen ataupun aliansi-aliansi organisasi pers.

Kematian Kenji barangkali hanya menjadi penghias surat kabar atau situs-situs berita, dia mungkin hanya sekadar "stopper" yang barangkali juga hanya menimbulkan simpati jangka pendek dari para juragan pers yang bersiap melakukan "soundbyte" seraya berakting membicarakan risiko liputan jurnalistik, di hadapan reporter-reporter televisi atas nama keagungan peliputan jurnalistik.

Pada suatu hari di penjara China, seorang pemuda biasa, bertubuh kurus, dengan pandangan teduh, bernama Nguyen That Thanh menulis sepotong memori (dicuplik dari buku fotografi jurnalistik "Requiem", Random House, New York, disunting dua fotografer kawakan Horst Faas dan Tim Page, yang dibuat untuk mengenang 135 pewarta foto dari 10 negara yang gugur dalam perang Indo China) seperti ini:

"Entah di ketinggian, atau nun jauh di sana, Entah kaisar, atau raja Kamu adalah sebentuk tonggak batu kecil, Yang tegak berdiri di tepi jalan raya, Bagi orang-orang pelintas jalan. Kamu menunjukkan arah yang benar, Menghindarkan orang tersesat. Kamu menjelaskan kepada mereka jarak. Kemana mereka akan mengarah, PelayananMu bukanlah perkara kecil, Dan rakyat pasti akan selalu mengenangmu". Dunia kemudian mengenal pemuda itu sebagai Ho Chi Minh. (Oleh : Oscar Motuloh/Foto: Antara-Reuters/stringer/ox/07))





Monday, August 06, 2007

SELAMAT DATANG CALON INDEPENDEN
DI PILKADA

Senin,23 Juli 2007 merupakan tonggak yang bersejarah dalam peta politik ditanah air, terutama bagi daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi (pilkada) dimasa-masa mendatang. Di hari yang monumental itu, majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Pertimbangan majelis MK , karena undang-undang tersebut hanya memberi kesempatan bagi pasangan calon kepala/wakil kepala daerah yang berasal dari calon partai politik atau gabungan partai politik.

Keputusan majelis MK ini boleh dikatakan merupakan “revolusi demokrasi” dalam sistim politik di Indonesia. Keputusan MK ini, selain memberi kesempatan bagi tokoh potensial yang berasal dari non partai politik untuk bisa mauju dalam pilkada, sekaligus juga menjadi jawaban terhadap kerisauan masyarakat terhadap kinerja dan prilaku partai politik yang memonopoli setiap proses pencalonan kepala/wakil kepala daerah dalam pilkada.

Bagi masyarakat yang selama ini mendambakan calon pemimpin yang mempunyai dedikasi “pro rakyat” putusan MK ini menjadi harapan yang sangat berarti. Jika sistim ini benar-benar dapat terlaksana maka hak-hak politik dan kebebasan warga negara dapat segera terwujudkan. Tidak hanya sekedar wacana yang bergema di forum-forum diskusi. Terbukanya kesempatan calon independen dalam pilkada semakin memberikan alternatif bagi rakyat untuk mengusung atau mencalonkan tokoh-tokoh masyarakat yang mumpuni dalam memimpin rakyatnya. Pertanyaannya ialah, bagaimana rakyat memanfaatkan kesempatan emas ini dalam memilih pemimpin yang bisa memahami aspirasi rakyat.

Dibukanya kesempatan bagi calon independen untuk maju dalam pilkada, juga dapat menjadi ujian bagi kematangan “berdemokrasi” bagi masyarakat. Sejauh mana masyarakat dapat objektif dalam menentukan pilihannya. Karena sistim ini juga tidak menutup kemungkinan tampilnya orang/calon yang sebenarnya tidak “cakap” menjadi pemimpin rakyat, tetapi karena memiliki sumber dana yang luar biasa, akhirnya dapat mendominasi dan menang dalam pilkada. Jika hal ini yang terjadi, maka menjadi pupuslah harapan masyarakat untuk memperoleh pemimpin yang aspiratif.

Resistensi Partai Politik

Keputusan MK telah memberikan kesempatan bagi tokoh-tokoh yang merasa mampu untuk tampil dalam pilkada tanpa melalui jalur partai politik, yang selama ini memegang hak eksklusif dan hak monopoli dalam seluruh proses pilkada. Namun, bagi partai politik keputusan MK ini telah dianggap menggerogoti kekuasaan partai politik dan sekaligus telah mendelegitimasi keberadaan partai politik dalam sistim demokrasi perwakilan yang selama ini dianut di Indonesia. Berbagai tanggapan muncul sebagai reaksi terhadap keputusan MK, terutama reaksi pemerintah dan para politisi dari elite-elite partai politik. Pernyataan paling jelas dari pemerintah dan partai politik tentang penolakan ini adalah Calon Independen dimungkinkan dengan syarat harus memperoleh dukungan 15 % dari calon pemilih. Tentu saja syarat itu merupakan hal yang tidak masuk akal dan menyesatkan. Pernyataan itu merupakan suatu indikasi bahwa pemerintah dan partai politik tidak rela dan tidak menginginkan adanya calon independen dalam pilkada.

Tentu saja pemikiran ini harus ditolak secara tegas, jika kita ingin komitmen terhadap pengakuan atas hak-hak politik warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi. Kita tidak boleh mundur, hanya karena adanya penolakan dari elite-elite partai politik. Justru, yang harus didorong adalah agar segera dilakukannya revisi atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 khususnya tentang syarat pencalonan dalam pilkada, sehingga ada payung hukum yang memberikan kesempatan kepada Calon Independen sebagai implementasi dari keputusan MK tersebut.

Kesempatan bagi Parpol untuk berbenah diri

Putusan MK tentang calon independen dalam Pilkada dapat dikatakan merupakan kemenangan bagi upaya manifestasi demokrasi yang melepaskan kungkungan dari belenggu kekuasaan partai politik selama ini. Partai-partai politik sudah pasti tidak akan lagi menjadi satu-satunya kendaraan politik bagi calon yang ingin tampil dalam pilkada. Karena konstelasi politik langsung berubah, partai politik bukan satu-satunya pintu menuju kekuasaan. Realitas ini sudah sepatutnya mendorong partai politik harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini.

Partai politik harus mengambil hikmah dengan perubahan sistim ini, bukan malah menghambat proses demokratisasi yang terus bergulir seperti bola salju. Sudah sepatutnya partai politik mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai wahana rekrutmen kader-kadernya sebagai calon pemimpin yang mempunyai dedikasi, mumpuni dan pro rakyat, yang dapat memahami denyut nadi aspirasi rakyat.

Kini saatnya bagi partai politik untuk merevisi dan merefitalisasi platform dan kinerjanya, terutama dalam mengembangkan demokrasi. Realitas politik ini harus menjadi pelajaran berharga bagi partai politik untuk intropeksi dan berbenah diri, terutama dalam proses rekrutmen kader-kadernya. Dengan demikian fenomena jual beli kursi dengan “uang mahar” yang luar biasa mahalnya, sebagai dampak negatif dari perilaku kader-kader parpol yang memanfaatkan kesempatan pencalonan dalam pilkada sebagai alat untuk “memeras” calon yang mau tampil dalam pilkada dapat dihilangkan atau setidaknya diminimalisir.

Selamat Datang Calon Independen Di PILKADA!

Penulis :

M.Hasoloan Sinaga

Advokat dan Kordinator Forum Penulis dan Jurnalis Independen (FPJI)

Tinggal di Bogor

Wednesday, March 14, 2007

UU KAMNAS: ANCAMAN BAGI DEMOKRASI KITA

Oleh : Al Araf[1]

Draft RUU Keamanan Nasional akhirnya telah selesai dirampungkan pembahasannya oleh Departemen Pertahanan. Saat ini draft tersebut sedang dalam pembahasan antar departemen, Mabes TNI dan Polri ,untuk selanjutnya diserahkan dan di perbaiki kembali oleh Menkopolhukam selaku kementerian yang diberi tugas baru sebagai koordinator pembuatan draft RUU Kamnas, yang sebelumnya dipegang oleh departemen pertahanan.[2]

Secara esensi, pembentukan RUU Kamnas haruslah diletakkan dalam kerangka tata ulang kembalii manajemen keamanan nasional, khususnya menata ulang peran dan posisi institusi-institusi yang bertanggungjawab untuk mewujudkan keamanan nasional agar sesuai dengan prinisp-prinsip kehidupan bernegara yang demokratis. Selain itu, tata ulang manajemen keamanan nasional juga bertujuan untuk meningkatkan hubungan kerja antar institusi-institusi pelaksana yang sifatnya koordinatif dan didasarkan pada kompetensi dan spesialisasi kerja.

Sayangnya, draft RUU Kamnas[3] yang dibuat Departemen Pertahanan yang sejatinya dapat menjadi wadah untuk menata ulang kembali manajemen keamanan nasional, jauh dari yang diharapkan. Bahkan sebaliknya, draft tersebut akan menarik mundur langkah proses reformasi disektor keamanan dan menjadi ancaman yang serius bagi demokrasi. Draft RUU Kamnas yang dibuat departemen pertahanan saat ini justru akan mengembalikan sebagian fungsi militer seperti di masa lalu.

Kritik RUU Kamnas

Pertama, RUU Kamnas akan mengembalikan peran dan fungsi TNI sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Dengan alasan untuk mengatasi terorisme, Pasal 56[4] RUU Kamnas memberikan kewenangan kepada TNI untuk dapat melakukan langkah-langkah kongkrit dalam menanganai aksi terorisme yang salah satunya adalah melakukan fungsi penindakan. Langkah langkah kongkrit dan fungsi penindakan di sini dapat diartikan sebagai fungsi untuk melakukan penangkapan terhadap anggota masyarakat yang diduga terlibat dalam melakukan aksi terorisme.

Keberadaan pasal ini tentunya bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara. Sebagaii alat pertahanan negara, TNI tidak bisa dan tidak boleh melakukan dan menjalankan fungsi-fungsi judicial seperti melakukan penangkapan. Fungsi-fungsi tersebut hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti Polisi.[5]

Dengan demikian, keberadaan pasal ini jelas-jelas akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara TNI dengan Polisi sehingga dapat mengacaukan mekanisme criminal justice system. Lebih parah lagi, pasal ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi kebebasan masyarakat sipil dan kehidupan demokrasi kita. Dengan luasnya defenisi ”terorisme” sebagaimana dijelaskan dalam UU Terorisme No. 15 tahun 2003, maka pemberian kewenangan bagi TNI untuk dapat bertindak dalam mengatasi aksi terorisme melalui RUU Kamnas, akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Selain itu, adanya dua fungsi yang sama dengan dua aktor keamanan yang berbeda (TNI-Polisi) dalam melakukan fungsi penindakan untuk menanggulangi aksi terorisme akan memperunyam proses akuntabilitas. Sebagai contoh, tidak adanya pertanggungjawaban aktor-aktor kemanan dalam peristiwa penangkapan yang disertai dengan penganiayaan terhadap ustad Abu Fida di Surabaya yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia. Polisi mengakui memang melakukan penangkapan, tetapi menyatakan telah mengembalikan ustad tersebut. Pada kenyataannya, ustad Abu Fida ditemukan disuatu tempat dengan luka-luka penganiayaan dan goncangan psikologis yang berat. Dalam kasus ini di duga ada dua aktor keamanan yang berbeda yang melakukan penangkapan terhadap Ustad Abu Fida.

Harus diakui, mengacu kepada UU TNI No. 34 tahun 2004, TNI memang memiliki tugas pokok untuk operasi militer selain perang (Military Operation Other than War) yang salah satu tugasnya adalah mengatasi aksi terorisme. Namun demikian, segala tindakan TNI dalam menjalankan tugas pokoknya tersebut harus didasarkan pada keputusan dan kebijakan Presiden. Itu artinya TNI tidak bisa bertindak secara langung dalam menangani aksi terorisme tanpa adanya perintah dari Presiden. Kalaupun Presiden telah mengeluarkan keputusannya, keputusan itu dan peran TNI untuk menangani aksi terorisme tidak boleh melampaui batas kewenangannya apalagi sampai menempatkannya menjadi bagian dari aparat penegak hukum yang tentunya akan menimbulkan tumpang tindih fungsi serta tugas dengan aparat kepolisian. Keterlibatan TNI dalam penanggulangan aksi terorisme sebenarnya lebih ditekankan pada fungsi deteksi dini dan share informasi dengan aparat penegak hukum (fungsi inipun titik tekan kewenangannya lebih ditujukkan pada aparat Intelejen), sedangkan fungsi penindakan seperti melakukan penangkapan hanya bisa di lakukan oleh aparat penegak hukum (Polisi). Inilah mekanisme dan aturan yang benar dalam penanggulangan aksi terorisme yang sesuai dengan tata nilai demokrasi. Lebih jauh lagi, adalah tidak benar dan tidak tepat bila pengaturan peran TNI dalam penanggulangan aksi terorisme ini diatur menjadi bagian dari RUU Kamnas.

Kedua, TNI mengambil alih peran dan fungsi Presiden selaku otoritas politik yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengerahan kekuatan militer. Hal ini dapat dilihat dari diberikannya kewenangan kepadai TNI untuk dapat mengambil langkah-langkah penanganan secara terbatas dan terukur dalam menghadapi ancaman militer dari negara lain, tanpa adanya perintah dari Presiden dan baru melaporkannya selambat-lambatnya 1 x 24 Jam (Pasal 30 ayat 5 dan 6).[6] Bunyi pasal ini sesungguhnya hampir mirip dengan bunyi Pasal 19 RUU TNI yang dulu dikenal dipublik dengan nama ”pasal kudeta”, yang dalam kelanjutannya Pasal ini dihapuskan di dalam UU TNI No. 34 tahun 2004.

Lebih lanjut, hal paling nyata yang terlihat bermasalah dari pasal ini adalah bahwa pasal ini telah menegasikan prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam penataan ulang aktor-aktor keamanan. Dalam sistem negara demokrasi, sudah seharusnya semua tugas pokok TNI baik itu yang dilakukan dengan cara operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang hanya bisa di lakukan bila ada keputusan dari Presiden. Itu artinya, TNI tidak bisa dan tidak boleh menjalankan tugas pokoknya tanpa adanya keputusan dari Presiden. Keberadaan pasal ini jelas-jelas anti-demokrasi dan telah mengambil alih kewenangan Presiden sebagai otoritas politik yang memiliki kewenangan untuk mengerahkan kekuatan militer.

Ketiga, RUU Keamanan Nasional sangat tidak proporsional, karena di dalamnya lebih banyak mengatur tentang peran TNI dan keterlibatannya dalam situasi keadaan darurat. Sebagai bagian dari agenda reformasi sektor keamanan, seharusnya RUU Kamnas dapat mengatur secara proporsional tentang peran, fungsi dan kedudukan aktor-aktor keamanan lainnya sesuai dengan tata kehidupan politik dan bernegara yang demokratis.

Bagaimana seharusnya RUU Kamnas?

Tata ulang manejemen keamanan nasional melalui pembentukan RUU Kamnas memang menjadi sebuah kebutuhan. Namun tata ulang itu jangan sampai malah mengembalikan peran dan posisi TNI seperti di masa lalu, apalagi sampai bertentangan dengan norma-norma kehidupan bernegara yang demokratis. Untuk itu, Pembentukan RUU kamnas harus sepenuhnya mencakup beberapa hal sebagai berikut; (1) Menjadikan prinsip-prinsip kehidupan negara yang demokratis sebagai prinsip dasar dalam pembentukan RUU Kamnas. Prinsip-prinsip itu meliputi prinsip supremasi sipil, akuntabilitas, tranparansi, supremasi hukum, etc; (2) Menegaskan bahwa hakikat dan tujuan Keamanan kita, tidak melulu hanya ditujukkan pada upaya melindungi kedaulatan negara, tetapi juga harus ditujukkan pada upaya melindungi keamanan warga negara atau keamanan manusianya; (3) Pembedaan peran dan fungsi antara institusi penanggungjawab politik dari institusii penanggungjawab operasional. Dalam konteks negara demokrasi, penanggung jawab politik adalah pemerintah beserta departemen yang bertugas merumuskan kebijakan keamanan. Sedangkan pelaksana dan penanggungjawab operasional adalah institusi negara yang bertugas melaksanakan kebijakan keamanan (TNI, Polri); (4) Meletakkan struktur institusi pelaksana di bawah institusi pembuat kebijakan. Hal ini ditujukkan guna meningkatkan efektifitas kerja dan hubungan antara penanggungjawab politik dan penanggungjawab operasional sehingga dapat meningkatkan profesionalitas aktor-aktor keamanan dan hubungan koordinasi antar institusi penanggungjawab keamanan. Di situ, institusi penanggungjawab politik memiliki kewenangan supervisi terhadap institusi pelaksana dan sebaliknya institusi pelaksana bertanggungjawab kepada pemerintah. Dalam kerangka itu, Posisi TNI kedepan berada di bawah departemen pertahanan dan Polisi berada di bawah Kejaksaan Agung. Dengan demikian, keberatan Kapolri terhadap penempatan polisi dibawah departemen sesungguhnya menyimpang dengan agenda reformasi sektor Keamanan; (5) Pengaturan secara jelas dan tegas tentang peran dan tugas institusi-institusi pelaksana. TNI berperan sebagai alat pertahanan negara yang menjalankan tugas pokoknya berdasarkan kebijakan pertahanan negara. Kepolisian negara republik Indonesia adalah salah satu bagian aparat keamanan negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam kerangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Sedangkan intelejen negara adalah institusi sipil yang menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif yang memiliki kompetensi utama untuk mengembangkan sistem peringatan dini dan sistem analisa informasi strategis; (7) Mengatur secara jelas dan tegas, tugas dan fungsi Presiden selaku otoritas politik yang mengendalikan seluruh aktor-aktor keamanan nasional. Lebih lanjut, dalam hal peranan Presiden untuk mengendalikan keamanan nasional maka dibutuhkan adanya Dewan Keamanan Nasional (DKN) yakni dewan yang membantu Pesiden untuk memberikan masukan ataupun memberikan bantuan dalam merumuskan kebijakan keamanan nasional. Selain itu, perlu juga diatur mekanisme kontrol (pengawasan) yang efektif terhadap sektor keamanan yang peranannya dilakukan oleh DPR; (8) Mengatur hubungan antar institusi-institusi pelaksana, khususnya hubungan TNI, Polri dan pemerintah dalam rangka tugas perbantuan. Hal ini didasarkan pada kondisi dan dinamika ancaman yang kompleks yang dalam batas-batas dan wilayah tertentu ancaman tersebut tidak bisa dihadapi dan ditangani secara tersendiri dan terpisah oleh masing-masing aktor keamanan, tetapi dibutuhkan hubungan yang terintegrasi dan tertata dalam menghadapinya. Dalam kerangka itulah, tugas perbantuan TNI kepada pemerintah menjadi penting peranannya, khususnya dalam kerangka menjalankan operasi militer selain perang. Namun demikian, pengaturan tugas perbantuan dalam RUU Kamnas hanya bisa dilakukan bila telah ada keputusan dari pemerintah dan sifat tugas perbantuan ini hanya terbatas dan sementara.

Terkait dengan permasalahan RUU Kamnas yang dibuat departemen pertahanan, adalah tepat sedari dini bagi kita untuk terus mengawasi proses legislasi pembentukan RUU Kamnas. Jangan Sampai RUU Kamnas yang ada sekarang, akan menjadi RUU yang akan disahkan oleh DPR. Bila itu terjadi, maka tidak hanya reformasi sektor keamanan yang akan menjadi mundur kebelakang, tetapi kehidupan demokrasi kita juga menjadi terancam.


[1] Penulis adalah Koordinator Peneliti Imparsial, sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek

[2] Akibat penolakan Polisi terhadap RUU kamnas versi Departemen Pertahanan, akhirnya pembahasan RUU Kamnas di alihkan ke Menteri Koordinator, Politik, Hukum dan Keamanan.

[3] Draft yang dijadikan bahan analisa adalah draft 18 januari 2007 versi Departemen Pertahanan

[4] Pasal 56 ayat 1: Dalam penanganan terorisme, Tentara Nasional Indonesia wajib mengambi langkah-langkah konkrit yang ditujukan untuk menjamin keselamatan dan kehormatan bangsa. (Penjelasan : Cukup jelas). Ayat 2 : Penanganan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam tahap pencegahan, penindakan, dan pemulihan. (Penjelasan : Cukup jelas)

[5] Dalam konteks TNI, fungsi penegakan hukum hanya bisa dilakukan oleh TNI Angkatan laut dengan batas tugas di wilayah laut.

[6] Pasal 30 ayat (5) : Dalam hal menghadapi acaman militer dari negara lain dan berdasarkan pertimbangan ruang dan waktu memerlukan penanganan segera, maka Tentara Nasional Indonesia dapat mengambil langkah-langkah penanganan secara terbatas dan terukur. Penjelasan : Cukup jelas. Pasal 30 ayat (6) Dalam hal Tentara Nasional Indonesia telah mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka Panglima sesegera mungkin selambat-lambatnya dalam waktu 1 x 24 jam melaporkan kepada Presiden. Penjelasan: Cukup jelas.

Wednesday, February 21, 2007

Tidak Ada Kebijakan Kesehatan Pro Rakyat Miskin
Oleh: E. Musyadad[1]

Di punggung gunung Wilis, sebuah dusun yang bernama Dasun Desa Joho Kecamatan Semen Kabupaten Kediri, tiga tahun yang lalu masyarakatnya berduka. Ada seorang perempuan yang mati karena diserang sakit. Pihak keluarga tidak bisa membawa ke rumah sakit karena alasan biaya. Sebelumnya, ongkos berobatnya sudah ditanggung warga dusun dengan iuran sebagai bentuk solidaritas. Namun, swadaya warganya itu tidak menolong, karena sakitnya sangat mahal, stroke dan komplikasi. Mantri yang merawatnyapun tidak bisa setiap hari didatangkan. Mantri hanya datang setiap minggu sekali. Alasannya, selain finansial, jalan menuju dusun tersebut menaiki gunung dan jalannya rusak parah. Sehingga mantrinya juga “malas” ke dusun tersebut. Akhirnya, pada suatu malam ketika penyakitnya datang menyerang, keluarganya tidak kuasa.
Kejadian diatas, masih saja menggangu pikiran warga Dasun tersebut. Dari kasus diatas, khususnya para ibu-ibu kemudian berinisiatif membangun desanya. Mereka mendirikan sebuah organisasi yang disebut paguyuban perempuan Sido Rukun. Alasannya sederhana saja, agar desanya maju. Ekonomi warganya baik, jalan-jalan baik, solidaritas baik. Sehingga kematian seperti tiga tahun yang lalu tidak terulang lagi.
Cerita ini benar-benar terjadi di Dusun Dasun. Dan pasti juga terjadi di desa-desa lain yang terpecil di pelosok-pelosok Jawa Timur. Banyak penduduk miskin yang kesulitan mendapatkan perawatan cepat karena akses transportasi yang susah menuju rumah sakit yang ada di kota. Lalu, dimana letak tanggung jawab pemerintah agar kejadian kematian itu tidak terus terjadi? Pertanyaan inilah yang seharusnya kita renungkan. Apa sebebenarnya yang yang telah dilakukan pemerintah?
Selain karena keterbatasan jumlah dokter yang hanya ada di kecamatan, banyak orang miskin tidak bisa datang ke rumah sakit karena tidak memiliki ongkos. Jika mereka ke dokter, biayanya tidak murah lagi. Ongkos dokter sekarang mahal, demikian disitir Iwan Fals dalam lagunya sekitar tahun 90-an dan realitasnya sekarang semakin mahal saja. Akhirnya, penduduk miskin tidak lagi ada sandaran untuk menikmati hidup sehat. Nah, apakah dengan demikian menjunjukkan tidak ada kebijakan kesehatan yang pro rakyat miskin? Sudah pasti bisa dikatakan demikian.
Membicarakan kesehatan yang pro rakyat, banyak hal yang sebenarnya harus dilihat. Kesehatan pro rakyat ini seharusnya tidak melulu urusan dokter, obat-obatan atau rumah sakit serta puskesmas. Tetapi juga harus membicarkan jalan-jalan yang rusak dan tidak bisa dilewati. Jika ada dokter dan biaya mudah sekalipun serta peralatan canggih di rumah sakit, tetapi untuk menuju tempat-tempat pelayanan kesehatan tidak bisa ditempuh, kesehatan itu sama saja bohong. Inilah yang sering dilupakan pemerintah kita. Hak rakyat untuk menikmati hidup sehat disimplifikasikan dengan memberi program Jaring Pengaman Sosial. Sebuah kebijakan yang tidak berpikir panjang.
Kondisi kesehatan kita sangatlah buruk. Hal ini dapat dibaca dengan data-data angka yang sekarang ada. Anggaran kesehatan rakyat sering kali lebih kecil dari anggaran yang disediakan untuk para pejabat Negara yang jumlahnya sedikit. Sehingga, saat ini biaya kesehatan lebih banyak dikeluarkan dari uang pribadi, daripada memanfaatkan pelayanan kesehatan yang disediakan negara. Cakupan asuransi yang sangat terbatas, hanya meng-cover warga Negara yang bekerja di sektor formal. Akibatnya kaum miskin sama sekali tidak tersentuh manfaat dari pelayanaan kesehatan dari pemerintah.
Buruknya jaminan ini semakin mencekik keuangan kaum miskin kalau dilihat dari keberadaan fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan umum dari tahun ke tahun terus menurun, sebaliknya fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pihak swasta semakin menjamur sampai di desa-desa. Di sebagian besar wilayah Indonesia, sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan dan saat ini konon terhitung lebih dari dua pertiga fasilitas ambulans yang ada justru disediakan oleh pihak swasta. Dan juga lebih dari setengah rumah sakit yang tersedia saat ini bukan rumah sakit Negara, melainkan rumah sakit swasta.
Sedihnya, rumah sakit Negara justru pelayanannya semakin buruk, sehingga banyak yang tidak lagi percaya terhadap fasilitas pemerintah ini. Di Kabupaten Malang misalnya, ditengah rasa ketidak percayaan warga terhadap fasilitas pemerintah, justru RSUD Kepanjen Kabupaten Malang menaikkan tarif berobat sebesar 100% per 1 Mei 2006 kemarin. Hal yang tidak jauh berbeda di RSUD Jombang, dimana warganya tidak lagi melirik rumah sakit ini sebagai rujukan jika ada keluarganya yang sakit, karena pelayanannya semakin buruk saja.
Pada akhirnya, rakyat miskin semakin kehilangan hak-haknya atas kesehatan mereka. Gambaran tentang penduduk miskin kota yang tidak terlayani dengan baik karena fasilitas kesehatan yang buruk juga dialami di kalangan penduduk miskin desa. Saat ini, dokter Negara hanya dimiliki oleh penduduk se-kecamatan. Artinya ribuan orang yang tersebar di area satu kecamatan hanya dilayani oleh satu orang dokter. Bagaimana bisa rakyat miskin yang hidup terpencil mendapat pelayanan dari seorang dokter secara cepat dan intensif?
Semestinya, kita mencontoh Negara yang diisolasi oleh Amerika Serikat dan sebagian Negara di dunia seperti Kuba. Sistem kesehatan di Kuba cenderung preventif. Sistem mereka beda dengan Puskesmas di negeri kita, tetapi mereka memberlakukan “medicos familiars”, dokter keluarga. Satu dokter bertanggungjawab atas satu kampung (sekitar 1000 orang) dan tiap hari sang dokter-dokter itu keliling kampung. Jumlah tenaga dokter per kapita Kuba jauh lebih banyak dibandingkan negara manapun di dunia.

Mungkinkah ini dilakukan? Tidak ada yang tidak mungkin jika ini menjadi kebijakan politik. Selama ini justru dokter dan petugas kesehatan tidak terkontrol dan terdesentralisasi ke daerah pinggiran. Hal ini dikarenakan jumlahnya yang terbatas akibat sekolah-sekolah kesehatan yang biayanya mahal, sehingga penduduk yang miskin tidak mungkin mengirim anaknya belajar menjadi petugas kesehatan. Pelajaran dari Kuba itu harus menjadi inspirasi bahwa kita juga bisa memyiapkan kesehatan yang pro rakyat miskin. Adanya program desa siaga yang telah ditetapkan oleh menteri kesehatan dalam Kepmenkes No. 564/Menkes/SK/VIII/2006 patut kita dorong. Karena dalam desa siaga ini urusan kesehatan ditanggung oleh komunitasnya. Sehingga akan semakin ringan beban si pasien dan keluarganya khususnya yang berasal dari kelompok miskin.
Mungkin, bayangan pemerintah tentang desa siaga ini sama seperti yang dibayangkan oleh Paguyuban Perempuan Sido Rukun di pelosok Kediri itu. Gagasan kelompok ibu-ibu di punggung gunung Wilis itu menjadi catatan penting bagaimana urusan kesehatan bukan lagi urusan individu semata. Tetapi harus menjadi urusan komunitas. Sehingga, keluarga-keluarga yang miskin dapat terbantu mendapat akses kesehatan yang lebih baik dengan bantuan dari kelompok yang ada di dusun-dusun.
Namun, jika inisiatif rakyat ini tidak segera disambut pemerintah dengan kebijakan lain, program semacam ini justru tidak akan bisa berjalan. Hanya menjadi catatan kecil saja. Kasarannya, program seorang Menteri Kesehatan yang lingkupnya nasional itu, sudah sejak lama dikembangkan di sebuah dusun terpencil di Kediri. Kalau benar terjadi, betapa ironisnya situasi kesehatan kita.
[1] Penulis adalah staf Yayasan Madani Jombang, sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

Tuesday, December 12, 2006

MERDEKA DARI PASAL KARET
Oleh : Eco Octa

Kita patut bersuka cita. Sungguh, demokrasi diiklim reformasi saat ini ternyata semakin memperlihatkan kesaktiannya. Lembar sejarah baru kembali ditulis, dalam sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin 4 Hakim Konstitusi masing-masing adalah I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi Soedarsono, Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya, dan Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi (6/12) telah menyatakan bahwa pasal-pasal penghinaan presiden tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal-pasal yang dimaksud sebagai penghinaan Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Pasal-pasal karet yang sejarahnya diproduksi Belanda untuk mengintimidasi kelompok pejuang kemerdekaan tersebut ternyata disimpulkan MK bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Sebab, amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, MK telah menyatakan tidak ada hak istimewa Presiden dan Wakil Presiden yang menyebabkannya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden tidak patut mendapatkan perlakuan khusus secara hukum karena itu akan membuat diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Bertolak dari itu, MK melansir agar RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.
Dalam dua tahun pemerintahan SBY, sekurang-kurangnya ada lima orang yang
didakwa dengan pasal karet tersebut. Pada 24 Maret 2005, I Wayan Gendo Suardana, terdakwa kasus pembakaran foto presiden dan wakil presiden, divonis enam bulan penjara oleh PN Denpasar. Aktivis Pandapotan Lubis ditangkap 18 Mei 2006 dengan alasan membawa poster yang menuntut SBY dan Kalla mundur dari jabatannya saat berdemonstrasi di Bundaran HI pada 16 Mei 2006.
Nasib yang sama menimpa Fahrur Rohman alias Paung. Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) tersebut ditangkap saat berdemonstrasi di depan Kampus Universitas Nasional Pejaten. Terdakwa ditangkap karena membagikan poster SBY dan Kalla yang wajahnya diberi tanda silang dan tulisan Kami Tidak Tahan. Aksi protes yang disampaikan itu pun berujung dengan kesimpulan penghinaan presiden dan wakilnya.
Tuduhan penghinaan presiden juga dialamatkan ke Eggi Sudjana. Mantan Ketua PPMI yang tinggal di Bogor itu didakwa menyebarkan fitnah pemberian Jaguar dari pengusaha Harry Tanoesudibyo kepada salah seorang anak SBY, sekretaris negara dan dua juru bicara SBY. Tidak berbeda dengan yang lainnya, Eggi pun dijerat dengan pasal karet penghinaan terhadap presiden.
Pasal karet memang tidak relevan lagi. Sekedar diketahui, pasal itu pernah digunakan penjajah Belanda untuk menindak siapa pun yang menghina Ratu Belanda. Selain itu, penerapan pasal tersebut dipastikan kontraproduktif dengan prinsip-prinsip
Demokrasi.
Perilaku protes atau kritik yang gencar digiatkan kelompok pendemo semestinya jangan diartikan secara sepihak oleh pengadilan dan Presiden sebagai pelanggar kesopanan. Sebaliknya, Presiden justru harus lebih bijak menanggapi esensi kritik yang disampaikan masyarakat.
Nuansa reformasi saat ini harus ditangkap sarat dengan pesan-pesan demokrasi. Sederhananya, pemerintahan SBY sebagai presiden, tidak bisa semstinya mengulang keburukan masa lalu seperti saat Orde Baru berkuasa. Pelajaran lembaran hitam saat Orde Baru berkuasa menjelaskan bahwa pasal karet kerap digunakan untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap kalangan kritis yang getol mengevaluasi kebijakan kepala negara. Sanksi kurungan atau penjara kerap menjadi jalan pintas untuk memberi pelajaran agar Presiden leluasa dari kritik.
Mengutip pernyataan Effendi Gozali, pemerhati politik sekaligus presenter Republik BBM, siapapun warga negara berhak mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk pembuktian janji-janji presiden yang pernah disampaikannya. Dikatakannya, orang lain juga boleh marah dalam bentuk apa saja jika janji itu tidak terbukti. Jadi, SBY harus mau legowo menghadapi rakyatnya yang protes terhadap kebijakannya dan mungkin kecewa atas performanya.
Dilain pihak, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia , Mardjono Reksodiputro juga terbilang salah satu pakar hukum yang setuju jika pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP dihilangkan. Menurutnya, penghinaan pada presiden sudah masuk dalam pasal penghinaan biasa yang berlaku sama untuk semua warga negara. (Tempo Interaktif, 16 Oktober 2006).
Pernyataan menarik yang perlu disimak mengenai penghapusan pasal karet warisan kolonial ini juga datang dari Pakar Hukum Universitas Airlangga yang merangkap Ketua Komisi Hukum Nasional, J Sahetapy. Dia berpendapat, dari sisi bahasa pasal tersebut tidak memuat ketegasan untuk membedakan antara kritik, fitnah, dan pencemaran nama baik. Semuanya disebutnya dipukul rata. Akibatnya, pelaksanaan pasal tersebut pun berada pada wilayah abu-abu yang bias penguasa yang bisa jadi menggunakannya untuk membabat kritik dari masyarakat.
Kritik, menurutnya, bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri namun ada kaitannya dengan keadaan bangsa. Pembedaan antara penghinaan terhadap presiden dan terhadap masyarakat umum yang tercantum dalam pasal 310 KUHP, tidak perlu ada. Bisa dibayangkan, untuk kasus penghinaan terhadap warga negara biasa sanksinya cuma sembilan bulan. Namun jika ditujukan untuk presiden dan wakilnya, ancamannya paling lama adalah enam tahun.
Dengan demikian, tidak ada alasan jika menghina presiden sama dengan menghina negara, maka dari itu presiden harus diletakkan sebagai warga biasa. Jika merasa terhina, presiden bisa menggugat orang tersebut dengan pasal 310 KUHP, bukan pasal khusus yang mengandung konsekuensi berbeda.
Penghapusan pasal karet yang telah banyak meminta tumbal ini tentu menjadi kabar baik bagi penggiat demokrasi di Indonesia. Semasa Suharto berkuasa di era Orde baru pasal karet ini telah banyak makan korban. Diantaranya adalah Yeni Rosa Damayanti yang pernah merasakan pahit getirnya dikandangin lantaran mengkritik kinerja DPR dan Presiden Soeharto di era Orba pada tahun 1993 bersama 20 mahasiswa lainnya yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI). Saat itu dia mengusung poster bertulisan “DPR Mesti Dengar Suara Rakyat dan Seret Presiden ke Sidang Istimewa”. Poster itulah yang menjadi alasan bagi penguasa Orde Baru untuk memenjarakannya selama satu tahun sebagai tahanan politik.
Lainnya adalah Tri Agus S. Siswowiharjo, mantan pemimpin redaksi Kabar dari Pijar tahun 1995 juga pernah diganjar tiga tahun penjara gara-gara memuat berita yang menyinggung penguasa Orde Baru. Dia dicap subversif dan dituduh menyebarkan kebencian pada negara.
Media yang dipimpin Agus ketika itu menurunkan berita berjudul, Adnan Buyung: Negeri Ini Kacau Gara-gara Orang Bernama Soeharto. Kendati hanya sekedar mengutip komentar Adnan Buyung Nasution, selaku pemimpin redaksi Agus tetap dianggap yang paling bertanggung jawab.
Penghapusan pasal karet penghinaan presiden dan wakil presiden oleh MK ini patut menjadi pendidikan politik yang berharga. Kini, kebebasan berpendapat dan berpikir merdeka telah menemukan roh jatidirinya kembali. Mulai saat ini kita tidak perlu lagi menjadi warga peragu menyatakan protes ketidakpuasan atas kebijakan Presiden atau Wakil Presiden yang dianggap salah dan tidak berpihak pada rakyat. Karena, dijamin tidak bakal diancam dengan pasal karet asal melakukan protes secara proporsional dengan tertib dan tidak anarkhi. Vox Populi Vox Dei!

*Eko Octa
Wakil Ketua DPC Pemuda Demokrat Kota Bogor
Litbang Lembaga PERAN
Tinggal di Jalan Ahmad Yani 38, Kota Bogor