“GONJANG-GANJING KELANGKAAN KEDELAI”
MENJADIKAN WARGA SEBAGAI PEWARTA (CITIZEN REPORTER)
“GONJANG-GANJING KELANGKAAN KEDELAI”
Kekerasan junta militer di Myanmar menambah panjang kidung kematian masyarakat tak berdosa di negeri seribu pagoda itu.
Pilihan penguasa Myanmar menggunakan senjata api untuk menghalau pengunjuk rasa yang diprakarsai para biksu muda tampaknya menjadi momentum menumbuhkan kembali semangat perlawanan massa prodemokrasi sejak junta militer berkuasa di negeri itu pada 1962.
Sejak pemerintahan militer pimpinan Jenderal Senior Than Shwe (74) memutuskan kenaikan BBM pada 13 Agustus 2007, gelombang unjuk rasa besar-besaran dari para aktivis gerakan pro demokrasi terjadi mulai 19 Agustus 2007, tetapi pemerintah kian represif menahan mereka. Meskipun tekanan internasional terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan junta militer Myanwar telah disampaikan, seperti dari Sidang Umum ke-28 Majelis Parlemen ASEAN di Malaysia 18-24 Agustus 2007 dan Komisi HAM PBB, tetapi krisis politik di negeri berpenduduk 46 juta itu makin memburuk. Dalam sebelas hari terakhir bahkan kian banyak korban berguguran ditembaki serdadu-serdadu Myanmar.
Setelah menyisir, menyerbu dan menembaki sejumlah biksu di biara-biara kota Yangoon, ratusan serdadu juga merangsek ke Pagoda Sule, peribadatan penting kaum Buddha Myanmar karena ditengarai menjadi tempat pelarian sejumlah biksu-biksu pembangkang. Belasan korban gugur dan dua ratusan cedera dalam kekerasan berdarah tersebut.
Kenji Nagai, 52 tahun, yang sehari-harinya bekerja sebagai pewarta foto dan jurnalis video kontrakan di APF Jepang tercatat sebagai salah satu yang gugur akibat kesewenangan pemerintah otoriter Myanmar tersebut. Tragedi berdarah di sejumlah biara dan pagoda keramat tersebut menambah panjang deret ukur para wartawan dalam mengemban tugas jurnalistiknya. Foto saat-saat Kenji menghadapi sakratul maut, Jumat (28/9), terhidang dalam halaman utama koran-koran di dunia.
Foto dramatis tersebut adalah imaji hasil bidikan seorang fotografer lepas yang memperlihatkan bagaimana Kenji yang tergeletak cedera di jalan raya masih berupaya mengarahkan kamera videonya ke arah massa yang sedang berlarian menghindari peluru-peluru tajam yang menyembur dari serdadu militer yang panik. Di sisi kanan Kenji yang mengenakan kemeja kotak-kotak biru lengan pendek dan celana pendek, terlihat seorang serdadu Myanmar mengenakan sandal hitam tengah berlari mengejar para demonstran sambil mengarahkan moncong senjata serbu M-16 ke arah tubuhnya. Sedangkan foto lainnya memperlihatkan tubuh kenji sudah tergeletak tak berdaya, tangannya kaku menyentuh aspal. Beberapa saat kemudian pihak Kedubes Jepang di Myanmar menyatakan salah satu jenazah yang ditemukan dari tragedi tersebut adalah Kenji Nagai.
Saksi mata mengatakan bahwa Kenji ditembak dari jarak dekat oleh militer Myanmar yang memang sangat alergi dengan kehadiran wartawan, apalagi pewarta asing yang melakukan liputan di wilayah kekuasaan mereka. Wartawan paruh baya tersebut empat hari yang lalu bergabung dengan massa demonstran yang menuntut perubahan politik di Myanmar yang dikuasai junta militer yang arogan. Kenji masuk ke bekas ibukota Myanmar tersebut sebagai turis, untuk menghindari pemeriksaan berlebihan junta militer yang sangat ketat membatasi keberadaan wartawan asing dalam wilayah mereka.
Kerusuhan terbesar yang tercatat dalam dua dekade belakangan ini membawa eskalasi baru dalam peta politik Myanmar, termasuk maraknya kegiatan liputan visual yang merepresentasikan kondisi politik di negeri yang sangat kuat dominasi militernya.
Foto berita, apalagi yang menyangkut militer Myanmar di dalamnya praktis menjadi kegiatan yang sangat sulit dilakukan. Keterkekangan medan liputan fotografi jurnalistik yang berlangsung di tanah Myanmar pada dasarnya hanya dapat disaingi oleh tindak tanduk rezim militer Korea Utara.
Melakukan tugas foto jurnalistik di Myanmar praktis bisa dikatakan terlarang. Bahkan untuk melakukan pemotretan di kawasan Pagan, kawasan situs arkeologi yang terletak di propinsi Mandalay, yang terletak di jantung wilayah Myanmar. Pemerintah junta bahkan menampik upaya UNESCO untuk mempromosikan kompleks pagoda Pagan, peninggalan kerajaan Burma yang pertama sebagai situs warisan budaya dunia. Junta militer yang lebih senang membangun lapangan golf, dan bahkan menara pengawas setinggi 61 meter, di kawasan bersejarah dan pusat kejayaaan Kerajaan Dhrawati dengan rajanya yang sangat terkenal Anawhrata (1044-1077) itu.
Sepanjang pekan ketiga bulan September ini, Yangoon tercatat sebagai kota berikutnya yang tercatat sebagai tanah kematian wartawan yang tengah melaksanakan amanat tugas jurnalistiknya.
Menurut catatan CPJ (Committee to Protect Journalists), lembaga perlindungan pers independen yang didirikan di Washington DC pada 1981, pada periode Januari 1992-28 Juni 2007 telah 636 wartawan gugur berkaitan dengan tugasnya. Lembaga tersebut merinci 72,7% di antaranya tewas karena pembunuhan terencana yang dilakukan berkaitan dengan tugas jurnalistiknya, disusul liputan perang dan kekerasan 27,2%, sedangkan mesin pembunuh yang paling sering digunakan adalah senjata api ringan (51%), senjata api berat (15,6%), ledakan (9,4%), pisau (7,1%). Penganiayaan dengan tangan kosong mengakibatkan 3,3% dari angka kematian tersebut. Sementara wartawan media cetak tetap tercatat sebagai korban tertinggi (58,2%), disusul TV (25,8%), radio dan internet (19%).
Masih menurut catatan CPJ, dalam empat tahun terakhir ini, tercatat 57 jiwa jurnalis yang tewas (2004), 48 pewarta (2005), 56 pewarta (2006) dan hingga 28 Juni 2007, sudah tercatat 24 jiwa wartawan yang gugur dalam melaksanakan tugasnya, belum termasuk mendiang Kenji yang gugur kemarin siang.
Gugurnya Kenji, demi mewartakan kesaksian visual dari suatu pengkhianatan terhadap demokrasi, sesungguhnya tidak sekadar menambah panjang catatan statistik wartawan yang tewas di medan liputan, namun juga mendudukkan profesi jurnalistik selalu dalam bahaya yang seolah-olah tak terelakkan dalam fungsi sosialnya sebagai pengawas dalam penyelenggaraan kenegaraan bagaimanapun tingkat kebobrokannya.
Belum lagi kondisi yang sangat ironis perihal eksistensi profesi pewarta foto dunia ketiga yang secara umum memang belum mendapatkan proteksi (asuransi dan bentuk perlindungan jiwa lainnya) yang memadai dalam menjalankan tugasnya. Entah yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga pers independen ataupun aliansi-aliansi organisasi pers.
Kematian Kenji barangkali hanya menjadi penghias surat kabar atau situs-situs berita, dia mungkin hanya sekadar "stopper" yang barangkali juga hanya menimbulkan simpati jangka pendek dari para juragan pers yang bersiap melakukan "soundbyte" seraya berakting membicarakan risiko liputan jurnalistik, di hadapan reporter-reporter televisi atas nama keagungan peliputan jurnalistik.
Pada suatu hari di penjara China, seorang pemuda biasa, bertubuh kurus, dengan pandangan teduh, bernama Nguyen That Thanh menulis sepotong memori (dicuplik dari buku fotografi jurnalistik "Requiem", Random House, New York, disunting dua fotografer kawakan Horst Faas dan Tim Page, yang dibuat untuk mengenang 135 pewarta foto dari 10 negara yang gugur dalam perang Indo China) seperti ini:
"Entah di ketinggian, atau nun jauh di sana, Entah kaisar, atau raja Kamu adalah sebentuk tonggak batu kecil, Yang tegak berdiri di tepi jalan raya, Bagi orang-orang pelintas jalan. Kamu menunjukkan arah yang benar, Menghindarkan orang tersesat. Kamu menjelaskan kepada mereka jarak. Kemana mereka akan mengarah, PelayananMu bukanlah perkara kecil, Dan rakyat pasti akan selalu mengenangmu". Dunia kemudian mengenal pemuda itu sebagai Ho Chi Minh. (Oleh : Oscar Motuloh/Foto: Antara-Reuters/stringer/ox/07))
SELAMAT DATANG CALON INDEPENDEN
DI PILKADA
Senin,23 Juli 2007 merupakan tonggak yang bersejarah dalam peta politik ditanah air, terutama bagi daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi (pilkada) dimasa-masa mendatang. Di hari yang monumental itu, majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Pertimbangan majelis MK , karena undang-undang tersebut hanya memberi kesempatan bagi pasangan calon kepala/wakil kepala daerah yang berasal dari calon partai politik atau gabungan partai politik.
Keputusan majelis MK ini boleh dikatakan merupakan “revolusi demokrasi” dalam sistim politik di Indonesia. Keputusan MK ini, selain memberi kesempatan bagi tokoh potensial yang berasal dari non partai politik untuk bisa mauju dalam pilkada, sekaligus juga menjadi jawaban terhadap kerisauan masyarakat terhadap kinerja dan prilaku partai politik yang memonopoli setiap proses pencalonan kepala/wakil kepala daerah dalam pilkada.
Bagi masyarakat yang selama ini mendambakan calon pemimpin yang mempunyai dedikasi “pro rakyat” putusan MK ini menjadi harapan yang sangat berarti. Jika sistim ini benar-benar dapat terlaksana maka hak-hak politik dan kebebasan warga negara dapat segera terwujudkan. Tidak hanya sekedar wacana yang bergema di forum-forum diskusi. Terbukanya kesempatan calon independen dalam pilkada semakin memberikan alternatif bagi rakyat untuk mengusung atau mencalonkan tokoh-tokoh masyarakat yang mumpuni dalam memimpin rakyatnya. Pertanyaannya ialah, bagaimana rakyat memanfaatkan kesempatan emas ini dalam memilih pemimpin yang bisa memahami aspirasi rakyat.
Dibukanya kesempatan bagi calon independen untuk maju dalam pilkada, juga dapat menjadi ujian bagi kematangan “berdemokrasi” bagi masyarakat. Sejauh mana masyarakat dapat objektif dalam menentukan pilihannya. Karena sistim ini juga tidak menutup kemungkinan tampilnya orang/calon yang sebenarnya tidak “cakap” menjadi pemimpin rakyat, tetapi karena memiliki sumber dana yang luar biasa, akhirnya dapat mendominasi dan menang dalam pilkada. Jika hal ini yang terjadi, maka menjadi pupuslah harapan masyarakat untuk memperoleh pemimpin yang aspiratif.
Resistensi Partai Politik
Keputusan MK telah memberikan kesempatan bagi tokoh-tokoh yang merasa mampu untuk tampil dalam pilkada tanpa melalui jalur partai politik, yang selama ini memegang hak eksklusif dan hak monopoli dalam seluruh proses pilkada. Namun, bagi partai politik keputusan MK ini telah dianggap menggerogoti kekuasaan partai politik dan sekaligus telah mendelegitimasi keberadaan partai politik dalam sistim demokrasi perwakilan yang selama ini dianut di Indonesia. Berbagai tanggapan muncul sebagai reaksi terhadap keputusan MK, terutama reaksi pemerintah dan para politisi dari elite-elite partai politik. Pernyataan paling jelas dari pemerintah dan partai politik tentang penolakan ini adalah Calon Independen dimungkinkan dengan syarat harus memperoleh dukungan 15 % dari calon pemilih. Tentu saja syarat itu merupakan hal yang tidak masuk akal dan menyesatkan. Pernyataan itu merupakan suatu indikasi bahwa pemerintah dan partai politik tidak rela dan tidak menginginkan adanya calon independen dalam pilkada.
Tentu saja pemikiran ini harus ditolak secara tegas, jika kita ingin komitmen terhadap pengakuan atas hak-hak politik warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi. Kita tidak boleh mundur, hanya karena adanya penolakan dari elite-elite partai politik. Justru, yang harus didorong adalah agar segera dilakukannya revisi atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 khususnya tentang syarat pencalonan dalam pilkada, sehingga ada payung hukum yang memberikan kesempatan kepada Calon Independen sebagai implementasi dari keputusan MK tersebut.
Kesempatan bagi Parpol untuk berbenah diri
Putusan MK tentang calon independen dalam Pilkada dapat dikatakan merupakan kemenangan bagi upaya manifestasi demokrasi yang melepaskan kungkungan dari belenggu kekuasaan partai politik selama ini. Partai-partai politik sudah pasti tidak akan lagi menjadi satu-satunya kendaraan politik bagi calon yang ingin tampil dalam pilkada. Karena konstelasi politik langsung berubah, partai politik bukan satu-satunya pintu menuju kekuasaan. Realitas ini sudah sepatutnya mendorong partai politik harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini.
Partai politik harus mengambil hikmah dengan perubahan sistim ini, bukan malah menghambat proses demokratisasi yang terus bergulir seperti bola salju. Sudah sepatutnya partai politik mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai wahana rekrutmen kader-kadernya sebagai calon pemimpin yang mempunyai dedikasi, mumpuni dan pro rakyat, yang dapat memahami denyut nadi aspirasi rakyat.
Kini saatnya bagi partai politik untuk merevisi dan merefitalisasi platform dan kinerjanya, terutama dalam mengembangkan demokrasi. Realitas politik ini harus menjadi pelajaran berharga bagi partai politik untuk intropeksi dan berbenah diri, terutama dalam proses rekrutmen kader-kadernya. Dengan demikian fenomena jual beli kursi dengan “uang mahar” yang luar biasa mahalnya, sebagai dampak negatif dari perilaku kader-kader parpol yang memanfaatkan kesempatan pencalonan dalam pilkada sebagai alat untuk “memeras” calon yang mau tampil dalam pilkada dapat dihilangkan atau setidaknya diminimalisir.
Selamat Datang Calon Independen Di PILKADA!
Penulis :
M.Hasoloan Sinaga
Advokat dan Kordinator Forum Penulis dan Jurnalis Independen (FPJI)
Tinggal di Bogor
UU KAMNAS: ANCAMAN BAGI DEMOKRASI KITA
Oleh : Al Araf[1]
Draft RUU Keamanan Nasional akhirnya telah selesai dirampungkan pembahasannya oleh Departemen Pertahanan. Saat ini draft tersebut sedang dalam pembahasan antar departemen, Mabes TNI dan Polri ,untuk selanjutnya diserahkan dan di perbaiki kembali oleh Menkopolhukam selaku kementerian yang diberi tugas baru sebagai koordinator pembuatan draft RUU Kamnas, yang sebelumnya dipegang oleh departemen pertahanan.[2]
Secara esensi, pembentukan RUU Kamnas haruslah diletakkan dalam kerangka tata ulang kembalii manajemen keamanan nasional, khususnya menata ulang peran dan posisi institusi-institusi yang bertanggungjawab untuk mewujudkan keamanan nasional agar sesuai dengan prinisp-prinsip kehidupan bernegara yang demokratis. Selain itu, tata ulang manajemen keamanan nasional juga bertujuan untuk meningkatkan hubungan kerja antar institusi-institusi pelaksana yang sifatnya koordinatif dan didasarkan pada kompetensi dan spesialisasi kerja.
Sayangnya, draft RUU Kamnas[3] yang dibuat Departemen Pertahanan yang sejatinya dapat menjadi wadah untuk menata ulang kembali manajemen keamanan nasional, jauh dari yang diharapkan. Bahkan sebaliknya, draft tersebut akan menarik mundur langkah proses reformasi disektor keamanan dan menjadi ancaman yang serius bagi demokrasi. Draft RUU Kamnas yang dibuat departemen pertahanan saat ini justru akan mengembalikan sebagian fungsi militer seperti di masa lalu.
Kritik RUU Kamnas
Pertama, RUU Kamnas akan mengembalikan peran dan fungsi TNI sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Dengan alasan untuk mengatasi terorisme, Pasal 56[4] RUU Kamnas memberikan kewenangan kepada TNI untuk dapat melakukan langkah-langkah kongkrit dalam menanganai aksi terorisme yang salah satunya adalah melakukan fungsi penindakan. Langkah langkah kongkrit dan fungsi penindakan di sini dapat diartikan sebagai fungsi untuk melakukan penangkapan terhadap anggota masyarakat yang diduga terlibat dalam melakukan aksi terorisme.
Keberadaan pasal ini tentunya bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara. Sebagaii alat pertahanan negara, TNI tidak bisa dan tidak boleh melakukan dan menjalankan fungsi-fungsi judicial seperti melakukan penangkapan. Fungsi-fungsi tersebut hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti Polisi.[5]
Dengan demikian, keberadaan pasal ini jelas-jelas akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara TNI dengan Polisi sehingga dapat mengacaukan mekanisme criminal justice system. Lebih parah lagi, pasal ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi kebebasan masyarakat sipil dan kehidupan demokrasi kita. Dengan luasnya defenisi ”terorisme” sebagaimana dijelaskan dalam UU Terorisme No. 15 tahun 2003, maka pemberian kewenangan bagi TNI untuk dapat bertindak dalam mengatasi aksi terorisme melalui RUU Kamnas, akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Selain itu, adanya dua fungsi yang sama dengan dua aktor keamanan yang berbeda (TNI-Polisi) dalam melakukan fungsi penindakan untuk menanggulangi aksi terorisme akan memperunyam proses akuntabilitas. Sebagai contoh, tidak adanya pertanggungjawaban aktor-aktor kemanan dalam peristiwa penangkapan yang disertai dengan penganiayaan terhadap ustad Abu Fida di Surabaya yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia. Polisi mengakui memang melakukan penangkapan, tetapi menyatakan telah mengembalikan ustad tersebut. Pada kenyataannya, ustad Abu Fida ditemukan disuatu tempat dengan luka-luka penganiayaan dan goncangan psikologis yang berat. Dalam kasus ini di duga ada dua aktor keamanan yang berbeda yang melakukan penangkapan terhadap Ustad Abu Fida.
Harus diakui, mengacu kepada UU TNI No. 34 tahun 2004, TNI memang memiliki tugas pokok untuk operasi militer selain perang (Military Operation Other than War) yang salah satu tugasnya adalah mengatasi aksi terorisme. Namun demikian, segala tindakan TNI dalam menjalankan tugas pokoknya tersebut harus didasarkan pada keputusan dan kebijakan Presiden. Itu artinya TNI tidak bisa bertindak secara langung dalam menangani aksi terorisme tanpa adanya perintah dari Presiden. Kalaupun Presiden telah mengeluarkan keputusannya, keputusan itu dan peran TNI untuk menangani aksi terorisme tidak boleh melampaui batas kewenangannya apalagi sampai menempatkannya menjadi bagian dari aparat penegak hukum yang tentunya akan menimbulkan tumpang tindih fungsi serta tugas dengan aparat kepolisian. Keterlibatan TNI dalam penanggulangan aksi terorisme sebenarnya lebih ditekankan pada fungsi deteksi dini dan share informasi dengan aparat penegak hukum (fungsi inipun titik tekan kewenangannya lebih ditujukkan pada aparat Intelejen), sedangkan fungsi penindakan seperti melakukan penangkapan hanya bisa di lakukan oleh aparat penegak hukum (Polisi). Inilah mekanisme dan aturan yang benar dalam penanggulangan aksi terorisme yang sesuai dengan tata nilai demokrasi. Lebih jauh lagi, adalah tidak benar dan tidak tepat bila pengaturan peran TNI dalam penanggulangan aksi terorisme ini diatur menjadi bagian dari RUU Kamnas.
Kedua, TNI mengambil alih peran dan fungsi Presiden selaku otoritas politik yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengerahan kekuatan militer. Hal ini dapat dilihat dari diberikannya kewenangan kepadai TNI untuk dapat mengambil langkah-langkah penanganan secara terbatas dan terukur dalam menghadapi ancaman militer dari negara lain, tanpa adanya perintah dari Presiden dan baru melaporkannya selambat-lambatnya 1 x 24 Jam (Pasal 30 ayat 5 dan 6).[6] Bunyi pasal ini sesungguhnya hampir mirip dengan bunyi Pasal 19 RUU TNI yang dulu dikenal dipublik dengan nama ”pasal kudeta”, yang dalam kelanjutannya Pasal ini dihapuskan di dalam UU TNI No. 34 tahun 2004.
Lebih lanjut, hal paling nyata yang terlihat bermasalah dari pasal ini adalah bahwa pasal ini telah menegasikan prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam penataan ulang aktor-aktor keamanan. Dalam sistem negara demokrasi, sudah seharusnya semua tugas pokok TNI baik itu yang dilakukan dengan cara operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang hanya bisa di lakukan bila ada keputusan dari Presiden. Itu artinya, TNI tidak bisa dan tidak boleh menjalankan tugas pokoknya tanpa adanya keputusan dari Presiden. Keberadaan pasal ini jelas-jelas anti-demokrasi dan telah mengambil alih kewenangan Presiden sebagai otoritas politik yang memiliki kewenangan untuk mengerahkan kekuatan militer.
Ketiga, RUU Keamanan Nasional sangat tidak proporsional, karena di dalamnya lebih banyak mengatur tentang peran TNI dan keterlibatannya dalam situasi keadaan darurat. Sebagai bagian dari agenda reformasi sektor keamanan, seharusnya RUU Kamnas dapat mengatur secara proporsional tentang peran, fungsi dan kedudukan aktor-aktor keamanan lainnya sesuai dengan tata kehidupan politik dan bernegara yang demokratis.
Bagaimana seharusnya RUU Kamnas?
Tata ulang manejemen keamanan nasional melalui pembentukan RUU Kamnas memang menjadi sebuah kebutuhan. Namun tata ulang itu jangan sampai malah mengembalikan peran dan posisi TNI seperti di masa lalu, apalagi sampai bertentangan dengan norma-norma kehidupan bernegara yang demokratis. Untuk itu, Pembentukan RUU kamnas harus sepenuhnya mencakup beberapa hal sebagai berikut; (1) Menjadikan prinsip-prinsip kehidupan negara yang demokratis sebagai prinsip dasar dalam pembentukan RUU Kamnas. Prinsip-prinsip itu meliputi prinsip supremasi sipil, akuntabilitas, tranparansi, supremasi hukum, etc; (2) Menegaskan bahwa hakikat dan tujuan Keamanan kita, tidak melulu hanya ditujukkan pada upaya melindungi kedaulatan negara, tetapi juga harus ditujukkan pada upaya melindungi keamanan warga negara atau keamanan manusianya; (3) Pembedaan peran dan fungsi antara institusi penanggungjawab politik dari institusii penanggungjawab operasional. Dalam konteks negara demokrasi, penanggung jawab politik adalah pemerintah beserta departemen yang bertugas merumuskan kebijakan keamanan. Sedangkan pelaksana dan penanggungjawab operasional adalah institusi negara yang bertugas melaksanakan kebijakan keamanan (TNI, Polri); (4) Meletakkan struktur institusi pelaksana di bawah institusi pembuat kebijakan. Hal ini ditujukkan guna meningkatkan efektifitas kerja dan hubungan antara penanggungjawab politik dan penanggungjawab operasional sehingga dapat meningkatkan profesionalitas aktor-aktor keamanan dan hubungan koordinasi antar institusi penanggungjawab keamanan. Di situ, institusi penanggungjawab politik memiliki kewenangan supervisi terhadap institusi pelaksana dan sebaliknya institusi pelaksana bertanggungjawab kepada pemerintah. Dalam kerangka itu, Posisi TNI kedepan berada di bawah departemen pertahanan dan Polisi berada di bawah Kejaksaan Agung. Dengan demikian, keberatan Kapolri terhadap penempatan polisi dibawah departemen sesungguhnya menyimpang dengan agenda reformasi sektor Keamanan; (5) Pengaturan secara jelas dan tegas tentang peran dan tugas institusi-institusi pelaksana. TNI berperan sebagai alat pertahanan negara yang menjalankan tugas pokoknya berdasarkan kebijakan pertahanan negara. Kepolisian negara republik Indonesia adalah salah satu bagian aparat keamanan negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam kerangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Sedangkan intelejen negara adalah institusi sipil yang menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif yang memiliki kompetensi utama untuk mengembangkan sistem peringatan dini dan sistem analisa informasi strategis; (7) Mengatur secara jelas dan tegas, tugas dan fungsi Presiden selaku otoritas politik yang mengendalikan seluruh aktor-aktor keamanan nasional. Lebih lanjut, dalam hal peranan Presiden untuk mengendalikan keamanan nasional maka dibutuhkan adanya Dewan Keamanan Nasional (DKN) yakni dewan yang membantu Pesiden untuk memberikan masukan ataupun memberikan bantuan dalam merumuskan kebijakan keamanan nasional. Selain itu, perlu juga diatur mekanisme kontrol (pengawasan) yang efektif terhadap sektor keamanan yang peranannya dilakukan oleh DPR; (8) Mengatur hubungan antar institusi-institusi pelaksana, khususnya hubungan TNI, Polri dan pemerintah dalam rangka tugas perbantuan. Hal ini didasarkan pada kondisi dan dinamika ancaman yang kompleks yang dalam batas-batas dan wilayah tertentu ancaman tersebut tidak bisa dihadapi dan ditangani secara tersendiri dan terpisah oleh masing-masing aktor keamanan, tetapi dibutuhkan hubungan yang terintegrasi dan tertata dalam menghadapinya. Dalam kerangka itulah, tugas perbantuan TNI kepada pemerintah menjadi penting peranannya, khususnya dalam kerangka menjalankan operasi militer selain perang. Namun demikian, pengaturan tugas perbantuan dalam RUU Kamnas hanya bisa dilakukan bila telah ada keputusan dari pemerintah dan sifat tugas perbantuan ini hanya terbatas dan sementara.
Terkait dengan permasalahan RUU Kamnas yang dibuat departemen pertahanan, adalah tepat sedari dini bagi kita untuk terus mengawasi proses legislasi pembentukan RUU Kamnas. Jangan Sampai RUU Kamnas yang ada sekarang, akan menjadi RUU yang akan disahkan oleh DPR. Bila itu terjadi, maka tidak hanya reformasi sektor keamanan yang akan menjadi mundur kebelakang, tetapi kehidupan demokrasi kita juga menjadi terancam.
[1] Penulis adalah Koordinator Peneliti Imparsial, sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek
[2] Akibat penolakan Polisi terhadap RUU kamnas versi Departemen Pertahanan, akhirnya pembahasan RUU Kamnas di alihkan ke Menteri Koordinator, Politik, Hukum dan Keamanan.
[3] Draft yang dijadikan bahan analisa adalah draft 18 januari 2007 versi Departemen Pertahanan
[4] Pasal 56 ayat 1: Dalam penanganan terorisme, Tentara Nasional Indonesia wajib mengambi langkah-langkah konkrit yang ditujukan untuk menjamin keselamatan dan kehormatan bangsa. (Penjelasan : Cukup jelas). Ayat 2 : Penanganan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam tahap pencegahan, penindakan, dan pemulihan. (Penjelasan : Cukup jelas)
[5] Dalam konteks TNI, fungsi penegakan hukum hanya bisa dilakukan oleh TNI Angkatan laut dengan batas tugas di wilayah laut.
[6] Pasal 30 ayat (5) : Dalam hal menghadapi acaman militer dari negara lain dan berdasarkan pertimbangan ruang dan waktu memerlukan penanganan segera, maka Tentara Nasional Indonesia dapat mengambil langkah-langkah penanganan secara terbatas dan terukur. Penjelasan : Cukup jelas. Pasal 30 ayat (6) Dalam hal Tentara Nasional Indonesia telah mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka Panglima sesegera mungkin selambat-lambatnya dalam waktu 1 x 24 jam melaporkan kepada Presiden. Penjelasan: Cukup jelas.
Tidak Ada Kebijakan Kesehatan Pro Rakyat Miskin