Sunday, September 24, 2006

RIMBA CUKONG KAYU

SETIDAKNYA ada dua pelajaran penting dari penangkapan Adelin Lis, pengusaha kayu asal Medan, di Beijing, pekan lalu. Pertama, Kedutaan Besar Republik Indonesia ternyata dapat menjadi mitra yang awas dan sigap dalam membekuk buron polisi. Kedua, peristiwa itu mengingatkan kembali pentingnya Kapolri Jenderal (Pol.) Sutanto serta Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban bergandengan tangan lebih erat, agar institusi yang mereka pimpin lebih kompak dalam mengejar para buron pembalakan liar yang mencari selamat ke luar negeri.
Adelin, 49 tahun, raja kayu asal Medan, masuk daftar pencarian orang (DPO) Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada Februari lalu. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan mencatat dua perusahaan milik Adelin merugikan negara Rp 674 miliar karena tidak membayar setoran hasil hutan dan dana reboisasi sejak tahun 2000.
Dari tim ahli Kementerian Negara Lingkungan Hidup, datang jumlah yang jauh berlipat: Rp 227,02 triliun. Angka jumbo ini dirinci dari potensi kerusakan hutan, kerugian ekonomi, serta biaya pemulihan lingkungan. Maka, polisi Sumatera Utara pun memburu Adelin. Eh, yang diburu lebih sigap.
Kabur ke luar negeri, dia bebas melanglang, sebelum terbekuk empat staf Kedutaan Indonesia di Beijing. Penangkapan itu diberitakan amatlah seru, mirip adegan film-film kungfu Mandarin. Satu hal, para pegawai Kedutaan Indonesia yang babak-belur dihajar kaki tangan Adelin patut mendapat hormat kita. Mereka seakan memberi contoh yang patut tentang kegigihan warga sipil menghadang buron tersangka kejahatan.
Kita gembira, tapi tidak perlu bersorak-sorai. Sebab, dalam peta besar pembalakan liar, Adelin hanyalah sumbat bejana. Namanya bahkan tidak masuk dalam daftar 50 pembalak kakap yang disodorkan Menteri Kaban kepada Kapolri dan Jaksa Agung pada 2005. Artinya, masih banyak pemakan kayu liar yang hasil kejahatannya belum terdata. Sangat mungkin kerugian negara akibat barisan pemangsa kayu liar itu di atas Rp 45 triliun per tahun—angka laporan Menteri Kehutanan tahun lalu.
Singkat kata, cukong sekelas Adelin, juga deretan cukong kakap kayu gelap, harus segera disasar polisi. Identitas mereka tercantum jelas dalam daftar Menteri Kaban. Tempat pelarian mereka juga terang-benderang: Hong Kong, Singapura, Malaysia, Cina, selain Indonesia, tentu saja.
Semestinya, melalui kerja sama dengan berbagai pihak, polisi bisa membuat daftar ”pengusaha-wajib-kejar” yang disodorkan Menteri Kehutanan segera menjadi lebih pendek. Tak gampang, karena penjahat jenis pemakan kayu ini seakan tak pernah jera. Bulan April lalu, Kapolri Sutanto berjanji: ”Tidak ada lagi pencurian kayu tahun ini.” Saat itu, kepada DPR, Sutanto melaporkan selama 2005 polisi menuntaskan 985 kasus yang melibatkan 1.229 tersangka di seluruh Indonesia. Ternyata, pada 2006, masih juga hutan kita disikat. Dua bulan pertama 2006, menurut Kapolri, lebih dari 500 orang ditangkap, termasuk tiga cukong kakap.
Para penjahat itu memang bekerja dalam kelompok besar, bertali-temali dengan banyak orang di dalam dan luar negeri. Inilah ”rimba cukong kayu” nan luas. Mereka punya kuasa penuh, termasuk terhadap sebagian aparat di dalam instansi pemerintah. Kepala Dinas Kehutanan Mandailing, misalnya, telah menjadi tersangka. Polisi juga memeriksa secara intensif Bupati Mandailing Natal—yang memiliki otonomi atas hutan yang dibabat Adelin, Raja Kayu Sumatera itu.
Kalau aparat itu bersalah, mereka patut dikutuk dan dihukum. Tapi ini bukan berita baru. Pada Oktober 2002, majalah ini melakukan investigasi pembalakan kayu besar-besaran di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, salah satu kawasan hutan konservasi terluas. Jutaan kubik kayu langka dicuri dari situ. Bisnis haram itu melahirkan seorang ”raja lokal” yang kala itu menjadi orang penting yang mewakili daerahnya di Jakarta.
Nama sang ”raja lokal” masih ada dalam daftar Menteri Kaban sebagai pelaku pembalakan yang harus diperiksa. Dua kemungkinan bisa terjadi. Polisi mampu mengejar yang kelas teri tapi loyo di depan yang kelas kakap. Atau, para pemain ini mempunyai jaringan luar biasa sehingga aparat dan hukum seakan majal saat bersentuhan dengan mereka.
Tak ada pilihan lain. Perang melawan mafia harus dirancang lebih terencana, tak cukup hanya menjadi agenda kerja wajib dari satu presiden ke presiden yang lain, termasuk agenda Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itu bisa dimulai dari kerja sama polisi dan Departemen Kehutanan, dengan menyusun bersama daftar pemakan kayu yang harus diburu. Kalau perlu, daftar buron pembalak liar ditempel di tempat-tempat umum di berbagai pelosok negeri, agar rakyat bisa ikut melaporkan di mana para pencoleng kayu itu berada.
Terhadap kejahatan yang sudah menimbulkan kerugian tak terperi, cara-cara yang tidak konvensional mungkin perlu dilakukan. Penangkapan di Beijing bisa jadi awal perang yang tampaknya akan panjang itu. (MBM TEMPO : Edisi. 30/XXXV/18 - 24 September 2006)



0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home