Friday, October 27, 2006

Agama, Bias Politik, dan Kekerasan
Oleh: John Haba*
Fenomena kekerasan dalam masyarakat Indonesia marak di mana-mana. Penyebabnya pun bervariasi, mulai dari isu agama, sosial, ekonomi, lapangan pekerjaan, dan pengangguran. Kekerasan sosial (social violence) melibatkan para pihak, dengan tujuan yang tidak selalu sejalan.
Para pelaku kekerasan melaksanakan aksinya berdasarkan pengetahuan, pengalaman, pemaknaan akan isu-isu yang sementara terjadi. Tingkat pemahaman terhadap sesuatu masalah, ikut berperan terhadap respons dan perilaku seseorang atau masyarakat dalam menanggapi peristiwa-peristiwa sosial.
Akhir-akhir ini, tindak kekerasan meningkat dalam masyarakat kita. Dari sekian banyak faktor pemicu, agama merupakan aspek penting yang dapat membakar emosi massa untuk bertindak radikal.
Secara umum terdapat empat kategori tindakan radikal di ranah agama, yakni: toleransi tanpa kekerasaan (non-violent tolerance), intoleransi dengan kekerasan (violent intolerance), intoleransi beradab (civic intolerance), dan toleransi beradab (civic tolerance).
Bagi para penganut dan pendukung gagasan intoleransi dengan kekerasan, pemaksaan kehendak lazimnya dipergunakan untuk mencapai tujuannya.
Kasus Ayohdia di India, bom Natal di Jakarta 2001, pembunuhan umat Islam di Hebron oleh kelompok Yahudi, boleh jadi harus di- pahami dalam konteks ini, bahwa radikalisasi agama atau militansi para pengikut agama, sangat banyak di-pengaruhi oleh konsep-konsep keagamaan yang sempit dan naïf.
Membela Agama
P
atutlah diingat, bahwa spektrum terluas dari dampak tindakan radikal benuansa agama, berpotensi mengoyak agregasi sosial yang sudah mapan. Sebab, agresivitas massa berpeluang menyeret berbagai elemen masyarakat, untuk membela agamanya.
Karena daya rangsang agama begitu dahsyat untuk mengobarkan kekuatan maksimal, maka katup pengaman pun, seperti aparat keamanan, sering tidak berfungsi, bahkan ikut berperan di dalamnya.
Terutama tatkala mereka kehilangan akal sehat, dan turut bermain api dalam kemelut bernuansa agama. Dampaknya, kerusakan sebab pertikaian antarkelompok umat beragama akan sangat sulit diselesaikan.
Gejala tindakan radikal di Indonesia dalam 15 tahun terakhir, dapat dilacak pada banyak faktor: dan kasus seperti Poso dan Maluku boleh diposisikan dalam alur berpikir ini, bahwa tekanan pekerjaan, isu etnik, marjinalisasi pribumi, penguasaan sumber daya alam, hegemomi kekuasaan, dan bahasa kekuasaan para pemimpin, acapkali disisipkan pada ranah agama.
Argumentasinya, agama diharapkan dapat menjawab kebuntuan sosial, dalam mencairkan berbagai isu dalam masyarakat. Konflik sosial yang belum seluruhnya dapat dipadamkan di negeri ini, kendati pun tidak diakui secara terbuka, banyak mengusung ideologi agama; yang diselundupkan ke dalam domain sosial.
Seolah-olah, dengan mempergunakan "kendaraan" agama, solusi terhadap kompleksitas permasalahan sosial, politik dan ekonomi di negeri ini dapat teratasi.
Yang sangat disayangkan adalah, kolaborasi para aktor (masyarakat dan agama) yang mengkonseptualisasi dan mengaktualisa- si tindakan kekerasan atau kon- flik, untuk mengganggu kelompok agama lainnya.
Apabila asumsi para pemimpin pendukung garis keras (hard liners) serupa diikuti, maka yang akan selalu muncul adalah suasana bertikai dengan kelompok lain. Target tindakan mereka dikategorikan selaku; kelompok berbeda (the other), yang tidak masuk hitungan, marjinal dan minoritas.
Kalau desain serupa yang ditempuh, maka proses deagamanisasi sementara terjadi, sekaligus upaya pembodohan umat pun tidak terhindarkan.
Radikalisasi Agama
T
indakan radikal tidak selalu berawal dari luar kandungan agama-agama, tetapi sering terbius dari 'kandungan' agama-agama itu sendiri. Atau, konkretisasi dan interpretasi teks-teks kitab suci telah dieksploitasikan untuk mendukung tindakan kekerasan, walaupun penafsiran serupa, tidak sesungguhnya absah.
Teks-teks kitab suci, paling sering menjadi inspirator bagi para pemimpin dan penganut agama untuk melancarkan aksinya. Berhadapan dengan teks dan memaknainya secara harfiah, kemudian mengorbankan semangat kebencian, pembalasan dendam, dan permusuhan, adalah karakteristik utama dari cikal bakal radikalisasi perilaku.
Pembenaran atau tafsir "lurus" teks-teks kitab suci, ikut membidani lahirnya kelompok-kelompok garis besar yang mengusung konsep agama, dan sungguh terbukti dalam sejarah kekerasan; dengan biaya sosial kemanusiaan yang destruktif. Pengambilan teks-teks kitab suci sebagai sumber perjuangan dan justifikasi tindakan radikal, dengan membunuh, melaksanakan aksi teror, merusakkan harta benda dan simbol-simbol keagamaan, tampaknya telah dilegitimasi secara universal, oleh para penggagas garis keras di sektor politik.
Format ini adalah alat bukti tersumbatnya saluran formal politik, sekaligus ketidakberdayaan mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan isu-isu sosial lainnya. Ideologi agama yang ditawarkan para pemimpin pergerakan organisasi radikal lebih merasuk daya pikatnya, dibandingkan dengan "menjual" konsep-konsep politik, etnik, ekonomi, dan nasionalisme.
Jalan keluar untuk meminimalkan tindakan kekerasan bernuansa agama ialah, peranan aktif para pemimpin agama dan politik, untuk menginsafkan pengikutnya.
Para pelaku radikal atas nama agama biasanya dikorbankan, untuk memuaskan kehausan ideologi dan ambisi politik para pemimpinnya. Oleh sebab itu, kualitas pemahaman ajaran agama, tidak saja mengendap pada tingkat diskursus, tetapi termanifestasi dalam berperilaku (sosial). Kewajiban semua pemeluk agama terutama pemimpin agama untuk meyakinkan masyarakat luas, bahwa tidak satu pun agama yang mengusung dan mempromosikan kekerasan terhadap sesama manusia.
Misinterpretasi konsep agama, tingginya pengangguran, penindasan, penjajahan, rendahnya tingkat pendidikan, dan terbiusnya massa dengan rayuan "hidup nyaman di seberang liang lahat", menjadi lahan empuk untuk berseminya tindakan radikal atau militansi agama.
Inilah indikator sakitnya sebuah masyarakat, atau mengikuti nalar Gilles Kepel (The Revenge of God: the Resurgence of Islam, Christianity and Judaism in the Modern World, 1994), bahwa fundamentalisme agama sementara membuktikan "kapasitas tunggal untuk menyingkapkan sakitnya sebuah masyarakat".
*Penulis adalah peneliti PMB-LIPI, Jakarta
(Disadur dari Suara Pembaruan Online Edisi 27 Oktober 2006)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home