Tuesday, December 12, 2006

MERDEKA DARI PASAL KARET
Oleh : Eco Octa

Kita patut bersuka cita. Sungguh, demokrasi diiklim reformasi saat ini ternyata semakin memperlihatkan kesaktiannya. Lembar sejarah baru kembali ditulis, dalam sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin 4 Hakim Konstitusi masing-masing adalah I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi Soedarsono, Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya, dan Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi (6/12) telah menyatakan bahwa pasal-pasal penghinaan presiden tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal-pasal yang dimaksud sebagai penghinaan Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Pasal-pasal karet yang sejarahnya diproduksi Belanda untuk mengintimidasi kelompok pejuang kemerdekaan tersebut ternyata disimpulkan MK bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Sebab, amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, MK telah menyatakan tidak ada hak istimewa Presiden dan Wakil Presiden yang menyebabkannya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden tidak patut mendapatkan perlakuan khusus secara hukum karena itu akan membuat diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Bertolak dari itu, MK melansir agar RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.
Dalam dua tahun pemerintahan SBY, sekurang-kurangnya ada lima orang yang
didakwa dengan pasal karet tersebut. Pada 24 Maret 2005, I Wayan Gendo Suardana, terdakwa kasus pembakaran foto presiden dan wakil presiden, divonis enam bulan penjara oleh PN Denpasar. Aktivis Pandapotan Lubis ditangkap 18 Mei 2006 dengan alasan membawa poster yang menuntut SBY dan Kalla mundur dari jabatannya saat berdemonstrasi di Bundaran HI pada 16 Mei 2006.
Nasib yang sama menimpa Fahrur Rohman alias Paung. Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) tersebut ditangkap saat berdemonstrasi di depan Kampus Universitas Nasional Pejaten. Terdakwa ditangkap karena membagikan poster SBY dan Kalla yang wajahnya diberi tanda silang dan tulisan Kami Tidak Tahan. Aksi protes yang disampaikan itu pun berujung dengan kesimpulan penghinaan presiden dan wakilnya.
Tuduhan penghinaan presiden juga dialamatkan ke Eggi Sudjana. Mantan Ketua PPMI yang tinggal di Bogor itu didakwa menyebarkan fitnah pemberian Jaguar dari pengusaha Harry Tanoesudibyo kepada salah seorang anak SBY, sekretaris negara dan dua juru bicara SBY. Tidak berbeda dengan yang lainnya, Eggi pun dijerat dengan pasal karet penghinaan terhadap presiden.
Pasal karet memang tidak relevan lagi. Sekedar diketahui, pasal itu pernah digunakan penjajah Belanda untuk menindak siapa pun yang menghina Ratu Belanda. Selain itu, penerapan pasal tersebut dipastikan kontraproduktif dengan prinsip-prinsip
Demokrasi.
Perilaku protes atau kritik yang gencar digiatkan kelompok pendemo semestinya jangan diartikan secara sepihak oleh pengadilan dan Presiden sebagai pelanggar kesopanan. Sebaliknya, Presiden justru harus lebih bijak menanggapi esensi kritik yang disampaikan masyarakat.
Nuansa reformasi saat ini harus ditangkap sarat dengan pesan-pesan demokrasi. Sederhananya, pemerintahan SBY sebagai presiden, tidak bisa semstinya mengulang keburukan masa lalu seperti saat Orde Baru berkuasa. Pelajaran lembaran hitam saat Orde Baru berkuasa menjelaskan bahwa pasal karet kerap digunakan untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap kalangan kritis yang getol mengevaluasi kebijakan kepala negara. Sanksi kurungan atau penjara kerap menjadi jalan pintas untuk memberi pelajaran agar Presiden leluasa dari kritik.
Mengutip pernyataan Effendi Gozali, pemerhati politik sekaligus presenter Republik BBM, siapapun warga negara berhak mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk pembuktian janji-janji presiden yang pernah disampaikannya. Dikatakannya, orang lain juga boleh marah dalam bentuk apa saja jika janji itu tidak terbukti. Jadi, SBY harus mau legowo menghadapi rakyatnya yang protes terhadap kebijakannya dan mungkin kecewa atas performanya.
Dilain pihak, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia , Mardjono Reksodiputro juga terbilang salah satu pakar hukum yang setuju jika pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP dihilangkan. Menurutnya, penghinaan pada presiden sudah masuk dalam pasal penghinaan biasa yang berlaku sama untuk semua warga negara. (Tempo Interaktif, 16 Oktober 2006).
Pernyataan menarik yang perlu disimak mengenai penghapusan pasal karet warisan kolonial ini juga datang dari Pakar Hukum Universitas Airlangga yang merangkap Ketua Komisi Hukum Nasional, J Sahetapy. Dia berpendapat, dari sisi bahasa pasal tersebut tidak memuat ketegasan untuk membedakan antara kritik, fitnah, dan pencemaran nama baik. Semuanya disebutnya dipukul rata. Akibatnya, pelaksanaan pasal tersebut pun berada pada wilayah abu-abu yang bias penguasa yang bisa jadi menggunakannya untuk membabat kritik dari masyarakat.
Kritik, menurutnya, bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri namun ada kaitannya dengan keadaan bangsa. Pembedaan antara penghinaan terhadap presiden dan terhadap masyarakat umum yang tercantum dalam pasal 310 KUHP, tidak perlu ada. Bisa dibayangkan, untuk kasus penghinaan terhadap warga negara biasa sanksinya cuma sembilan bulan. Namun jika ditujukan untuk presiden dan wakilnya, ancamannya paling lama adalah enam tahun.
Dengan demikian, tidak ada alasan jika menghina presiden sama dengan menghina negara, maka dari itu presiden harus diletakkan sebagai warga biasa. Jika merasa terhina, presiden bisa menggugat orang tersebut dengan pasal 310 KUHP, bukan pasal khusus yang mengandung konsekuensi berbeda.
Penghapusan pasal karet yang telah banyak meminta tumbal ini tentu menjadi kabar baik bagi penggiat demokrasi di Indonesia. Semasa Suharto berkuasa di era Orde baru pasal karet ini telah banyak makan korban. Diantaranya adalah Yeni Rosa Damayanti yang pernah merasakan pahit getirnya dikandangin lantaran mengkritik kinerja DPR dan Presiden Soeharto di era Orba pada tahun 1993 bersama 20 mahasiswa lainnya yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI). Saat itu dia mengusung poster bertulisan “DPR Mesti Dengar Suara Rakyat dan Seret Presiden ke Sidang Istimewa”. Poster itulah yang menjadi alasan bagi penguasa Orde Baru untuk memenjarakannya selama satu tahun sebagai tahanan politik.
Lainnya adalah Tri Agus S. Siswowiharjo, mantan pemimpin redaksi Kabar dari Pijar tahun 1995 juga pernah diganjar tiga tahun penjara gara-gara memuat berita yang menyinggung penguasa Orde Baru. Dia dicap subversif dan dituduh menyebarkan kebencian pada negara.
Media yang dipimpin Agus ketika itu menurunkan berita berjudul, Adnan Buyung: Negeri Ini Kacau Gara-gara Orang Bernama Soeharto. Kendati hanya sekedar mengutip komentar Adnan Buyung Nasution, selaku pemimpin redaksi Agus tetap dianggap yang paling bertanggung jawab.
Penghapusan pasal karet penghinaan presiden dan wakil presiden oleh MK ini patut menjadi pendidikan politik yang berharga. Kini, kebebasan berpendapat dan berpikir merdeka telah menemukan roh jatidirinya kembali. Mulai saat ini kita tidak perlu lagi menjadi warga peragu menyatakan protes ketidakpuasan atas kebijakan Presiden atau Wakil Presiden yang dianggap salah dan tidak berpihak pada rakyat. Karena, dijamin tidak bakal diancam dengan pasal karet asal melakukan protes secara proporsional dengan tertib dan tidak anarkhi. Vox Populi Vox Dei!

*Eko Octa
Wakil Ketua DPC Pemuda Demokrat Kota Bogor
Litbang Lembaga PERAN
Tinggal di Jalan Ahmad Yani 38, Kota Bogor

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home