Wednesday, March 14, 2007

UU KAMNAS: ANCAMAN BAGI DEMOKRASI KITA

Oleh : Al Araf[1]

Draft RUU Keamanan Nasional akhirnya telah selesai dirampungkan pembahasannya oleh Departemen Pertahanan. Saat ini draft tersebut sedang dalam pembahasan antar departemen, Mabes TNI dan Polri ,untuk selanjutnya diserahkan dan di perbaiki kembali oleh Menkopolhukam selaku kementerian yang diberi tugas baru sebagai koordinator pembuatan draft RUU Kamnas, yang sebelumnya dipegang oleh departemen pertahanan.[2]

Secara esensi, pembentukan RUU Kamnas haruslah diletakkan dalam kerangka tata ulang kembalii manajemen keamanan nasional, khususnya menata ulang peran dan posisi institusi-institusi yang bertanggungjawab untuk mewujudkan keamanan nasional agar sesuai dengan prinisp-prinsip kehidupan bernegara yang demokratis. Selain itu, tata ulang manajemen keamanan nasional juga bertujuan untuk meningkatkan hubungan kerja antar institusi-institusi pelaksana yang sifatnya koordinatif dan didasarkan pada kompetensi dan spesialisasi kerja.

Sayangnya, draft RUU Kamnas[3] yang dibuat Departemen Pertahanan yang sejatinya dapat menjadi wadah untuk menata ulang kembali manajemen keamanan nasional, jauh dari yang diharapkan. Bahkan sebaliknya, draft tersebut akan menarik mundur langkah proses reformasi disektor keamanan dan menjadi ancaman yang serius bagi demokrasi. Draft RUU Kamnas yang dibuat departemen pertahanan saat ini justru akan mengembalikan sebagian fungsi militer seperti di masa lalu.

Kritik RUU Kamnas

Pertama, RUU Kamnas akan mengembalikan peran dan fungsi TNI sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Dengan alasan untuk mengatasi terorisme, Pasal 56[4] RUU Kamnas memberikan kewenangan kepada TNI untuk dapat melakukan langkah-langkah kongkrit dalam menanganai aksi terorisme yang salah satunya adalah melakukan fungsi penindakan. Langkah langkah kongkrit dan fungsi penindakan di sini dapat diartikan sebagai fungsi untuk melakukan penangkapan terhadap anggota masyarakat yang diduga terlibat dalam melakukan aksi terorisme.

Keberadaan pasal ini tentunya bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara. Sebagaii alat pertahanan negara, TNI tidak bisa dan tidak boleh melakukan dan menjalankan fungsi-fungsi judicial seperti melakukan penangkapan. Fungsi-fungsi tersebut hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti Polisi.[5]

Dengan demikian, keberadaan pasal ini jelas-jelas akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara TNI dengan Polisi sehingga dapat mengacaukan mekanisme criminal justice system. Lebih parah lagi, pasal ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi kebebasan masyarakat sipil dan kehidupan demokrasi kita. Dengan luasnya defenisi ”terorisme” sebagaimana dijelaskan dalam UU Terorisme No. 15 tahun 2003, maka pemberian kewenangan bagi TNI untuk dapat bertindak dalam mengatasi aksi terorisme melalui RUU Kamnas, akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Selain itu, adanya dua fungsi yang sama dengan dua aktor keamanan yang berbeda (TNI-Polisi) dalam melakukan fungsi penindakan untuk menanggulangi aksi terorisme akan memperunyam proses akuntabilitas. Sebagai contoh, tidak adanya pertanggungjawaban aktor-aktor kemanan dalam peristiwa penangkapan yang disertai dengan penganiayaan terhadap ustad Abu Fida di Surabaya yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia. Polisi mengakui memang melakukan penangkapan, tetapi menyatakan telah mengembalikan ustad tersebut. Pada kenyataannya, ustad Abu Fida ditemukan disuatu tempat dengan luka-luka penganiayaan dan goncangan psikologis yang berat. Dalam kasus ini di duga ada dua aktor keamanan yang berbeda yang melakukan penangkapan terhadap Ustad Abu Fida.

Harus diakui, mengacu kepada UU TNI No. 34 tahun 2004, TNI memang memiliki tugas pokok untuk operasi militer selain perang (Military Operation Other than War) yang salah satu tugasnya adalah mengatasi aksi terorisme. Namun demikian, segala tindakan TNI dalam menjalankan tugas pokoknya tersebut harus didasarkan pada keputusan dan kebijakan Presiden. Itu artinya TNI tidak bisa bertindak secara langung dalam menangani aksi terorisme tanpa adanya perintah dari Presiden. Kalaupun Presiden telah mengeluarkan keputusannya, keputusan itu dan peran TNI untuk menangani aksi terorisme tidak boleh melampaui batas kewenangannya apalagi sampai menempatkannya menjadi bagian dari aparat penegak hukum yang tentunya akan menimbulkan tumpang tindih fungsi serta tugas dengan aparat kepolisian. Keterlibatan TNI dalam penanggulangan aksi terorisme sebenarnya lebih ditekankan pada fungsi deteksi dini dan share informasi dengan aparat penegak hukum (fungsi inipun titik tekan kewenangannya lebih ditujukkan pada aparat Intelejen), sedangkan fungsi penindakan seperti melakukan penangkapan hanya bisa di lakukan oleh aparat penegak hukum (Polisi). Inilah mekanisme dan aturan yang benar dalam penanggulangan aksi terorisme yang sesuai dengan tata nilai demokrasi. Lebih jauh lagi, adalah tidak benar dan tidak tepat bila pengaturan peran TNI dalam penanggulangan aksi terorisme ini diatur menjadi bagian dari RUU Kamnas.

Kedua, TNI mengambil alih peran dan fungsi Presiden selaku otoritas politik yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengerahan kekuatan militer. Hal ini dapat dilihat dari diberikannya kewenangan kepadai TNI untuk dapat mengambil langkah-langkah penanganan secara terbatas dan terukur dalam menghadapi ancaman militer dari negara lain, tanpa adanya perintah dari Presiden dan baru melaporkannya selambat-lambatnya 1 x 24 Jam (Pasal 30 ayat 5 dan 6).[6] Bunyi pasal ini sesungguhnya hampir mirip dengan bunyi Pasal 19 RUU TNI yang dulu dikenal dipublik dengan nama ”pasal kudeta”, yang dalam kelanjutannya Pasal ini dihapuskan di dalam UU TNI No. 34 tahun 2004.

Lebih lanjut, hal paling nyata yang terlihat bermasalah dari pasal ini adalah bahwa pasal ini telah menegasikan prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam penataan ulang aktor-aktor keamanan. Dalam sistem negara demokrasi, sudah seharusnya semua tugas pokok TNI baik itu yang dilakukan dengan cara operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang hanya bisa di lakukan bila ada keputusan dari Presiden. Itu artinya, TNI tidak bisa dan tidak boleh menjalankan tugas pokoknya tanpa adanya keputusan dari Presiden. Keberadaan pasal ini jelas-jelas anti-demokrasi dan telah mengambil alih kewenangan Presiden sebagai otoritas politik yang memiliki kewenangan untuk mengerahkan kekuatan militer.

Ketiga, RUU Keamanan Nasional sangat tidak proporsional, karena di dalamnya lebih banyak mengatur tentang peran TNI dan keterlibatannya dalam situasi keadaan darurat. Sebagai bagian dari agenda reformasi sektor keamanan, seharusnya RUU Kamnas dapat mengatur secara proporsional tentang peran, fungsi dan kedudukan aktor-aktor keamanan lainnya sesuai dengan tata kehidupan politik dan bernegara yang demokratis.

Bagaimana seharusnya RUU Kamnas?

Tata ulang manejemen keamanan nasional melalui pembentukan RUU Kamnas memang menjadi sebuah kebutuhan. Namun tata ulang itu jangan sampai malah mengembalikan peran dan posisi TNI seperti di masa lalu, apalagi sampai bertentangan dengan norma-norma kehidupan bernegara yang demokratis. Untuk itu, Pembentukan RUU kamnas harus sepenuhnya mencakup beberapa hal sebagai berikut; (1) Menjadikan prinsip-prinsip kehidupan negara yang demokratis sebagai prinsip dasar dalam pembentukan RUU Kamnas. Prinsip-prinsip itu meliputi prinsip supremasi sipil, akuntabilitas, tranparansi, supremasi hukum, etc; (2) Menegaskan bahwa hakikat dan tujuan Keamanan kita, tidak melulu hanya ditujukkan pada upaya melindungi kedaulatan negara, tetapi juga harus ditujukkan pada upaya melindungi keamanan warga negara atau keamanan manusianya; (3) Pembedaan peran dan fungsi antara institusi penanggungjawab politik dari institusii penanggungjawab operasional. Dalam konteks negara demokrasi, penanggung jawab politik adalah pemerintah beserta departemen yang bertugas merumuskan kebijakan keamanan. Sedangkan pelaksana dan penanggungjawab operasional adalah institusi negara yang bertugas melaksanakan kebijakan keamanan (TNI, Polri); (4) Meletakkan struktur institusi pelaksana di bawah institusi pembuat kebijakan. Hal ini ditujukkan guna meningkatkan efektifitas kerja dan hubungan antara penanggungjawab politik dan penanggungjawab operasional sehingga dapat meningkatkan profesionalitas aktor-aktor keamanan dan hubungan koordinasi antar institusi penanggungjawab keamanan. Di situ, institusi penanggungjawab politik memiliki kewenangan supervisi terhadap institusi pelaksana dan sebaliknya institusi pelaksana bertanggungjawab kepada pemerintah. Dalam kerangka itu, Posisi TNI kedepan berada di bawah departemen pertahanan dan Polisi berada di bawah Kejaksaan Agung. Dengan demikian, keberatan Kapolri terhadap penempatan polisi dibawah departemen sesungguhnya menyimpang dengan agenda reformasi sektor Keamanan; (5) Pengaturan secara jelas dan tegas tentang peran dan tugas institusi-institusi pelaksana. TNI berperan sebagai alat pertahanan negara yang menjalankan tugas pokoknya berdasarkan kebijakan pertahanan negara. Kepolisian negara republik Indonesia adalah salah satu bagian aparat keamanan negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam kerangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Sedangkan intelejen negara adalah institusi sipil yang menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif yang memiliki kompetensi utama untuk mengembangkan sistem peringatan dini dan sistem analisa informasi strategis; (7) Mengatur secara jelas dan tegas, tugas dan fungsi Presiden selaku otoritas politik yang mengendalikan seluruh aktor-aktor keamanan nasional. Lebih lanjut, dalam hal peranan Presiden untuk mengendalikan keamanan nasional maka dibutuhkan adanya Dewan Keamanan Nasional (DKN) yakni dewan yang membantu Pesiden untuk memberikan masukan ataupun memberikan bantuan dalam merumuskan kebijakan keamanan nasional. Selain itu, perlu juga diatur mekanisme kontrol (pengawasan) yang efektif terhadap sektor keamanan yang peranannya dilakukan oleh DPR; (8) Mengatur hubungan antar institusi-institusi pelaksana, khususnya hubungan TNI, Polri dan pemerintah dalam rangka tugas perbantuan. Hal ini didasarkan pada kondisi dan dinamika ancaman yang kompleks yang dalam batas-batas dan wilayah tertentu ancaman tersebut tidak bisa dihadapi dan ditangani secara tersendiri dan terpisah oleh masing-masing aktor keamanan, tetapi dibutuhkan hubungan yang terintegrasi dan tertata dalam menghadapinya. Dalam kerangka itulah, tugas perbantuan TNI kepada pemerintah menjadi penting peranannya, khususnya dalam kerangka menjalankan operasi militer selain perang. Namun demikian, pengaturan tugas perbantuan dalam RUU Kamnas hanya bisa dilakukan bila telah ada keputusan dari pemerintah dan sifat tugas perbantuan ini hanya terbatas dan sementara.

Terkait dengan permasalahan RUU Kamnas yang dibuat departemen pertahanan, adalah tepat sedari dini bagi kita untuk terus mengawasi proses legislasi pembentukan RUU Kamnas. Jangan Sampai RUU Kamnas yang ada sekarang, akan menjadi RUU yang akan disahkan oleh DPR. Bila itu terjadi, maka tidak hanya reformasi sektor keamanan yang akan menjadi mundur kebelakang, tetapi kehidupan demokrasi kita juga menjadi terancam.


[1] Penulis adalah Koordinator Peneliti Imparsial, sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek

[2] Akibat penolakan Polisi terhadap RUU kamnas versi Departemen Pertahanan, akhirnya pembahasan RUU Kamnas di alihkan ke Menteri Koordinator, Politik, Hukum dan Keamanan.

[3] Draft yang dijadikan bahan analisa adalah draft 18 januari 2007 versi Departemen Pertahanan

[4] Pasal 56 ayat 1: Dalam penanganan terorisme, Tentara Nasional Indonesia wajib mengambi langkah-langkah konkrit yang ditujukan untuk menjamin keselamatan dan kehormatan bangsa. (Penjelasan : Cukup jelas). Ayat 2 : Penanganan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam tahap pencegahan, penindakan, dan pemulihan. (Penjelasan : Cukup jelas)

[5] Dalam konteks TNI, fungsi penegakan hukum hanya bisa dilakukan oleh TNI Angkatan laut dengan batas tugas di wilayah laut.

[6] Pasal 30 ayat (5) : Dalam hal menghadapi acaman militer dari negara lain dan berdasarkan pertimbangan ruang dan waktu memerlukan penanganan segera, maka Tentara Nasional Indonesia dapat mengambil langkah-langkah penanganan secara terbatas dan terukur. Penjelasan : Cukup jelas. Pasal 30 ayat (6) Dalam hal Tentara Nasional Indonesia telah mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka Panglima sesegera mungkin selambat-lambatnya dalam waktu 1 x 24 jam melaporkan kepada Presiden. Penjelasan: Cukup jelas.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home