Monday, August 06, 2007

SELAMAT DATANG CALON INDEPENDEN
DI PILKADA

Senin,23 Juli 2007 merupakan tonggak yang bersejarah dalam peta politik ditanah air, terutama bagi daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi (pilkada) dimasa-masa mendatang. Di hari yang monumental itu, majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Pertimbangan majelis MK , karena undang-undang tersebut hanya memberi kesempatan bagi pasangan calon kepala/wakil kepala daerah yang berasal dari calon partai politik atau gabungan partai politik.

Keputusan majelis MK ini boleh dikatakan merupakan “revolusi demokrasi” dalam sistim politik di Indonesia. Keputusan MK ini, selain memberi kesempatan bagi tokoh potensial yang berasal dari non partai politik untuk bisa mauju dalam pilkada, sekaligus juga menjadi jawaban terhadap kerisauan masyarakat terhadap kinerja dan prilaku partai politik yang memonopoli setiap proses pencalonan kepala/wakil kepala daerah dalam pilkada.

Bagi masyarakat yang selama ini mendambakan calon pemimpin yang mempunyai dedikasi “pro rakyat” putusan MK ini menjadi harapan yang sangat berarti. Jika sistim ini benar-benar dapat terlaksana maka hak-hak politik dan kebebasan warga negara dapat segera terwujudkan. Tidak hanya sekedar wacana yang bergema di forum-forum diskusi. Terbukanya kesempatan calon independen dalam pilkada semakin memberikan alternatif bagi rakyat untuk mengusung atau mencalonkan tokoh-tokoh masyarakat yang mumpuni dalam memimpin rakyatnya. Pertanyaannya ialah, bagaimana rakyat memanfaatkan kesempatan emas ini dalam memilih pemimpin yang bisa memahami aspirasi rakyat.

Dibukanya kesempatan bagi calon independen untuk maju dalam pilkada, juga dapat menjadi ujian bagi kematangan “berdemokrasi” bagi masyarakat. Sejauh mana masyarakat dapat objektif dalam menentukan pilihannya. Karena sistim ini juga tidak menutup kemungkinan tampilnya orang/calon yang sebenarnya tidak “cakap” menjadi pemimpin rakyat, tetapi karena memiliki sumber dana yang luar biasa, akhirnya dapat mendominasi dan menang dalam pilkada. Jika hal ini yang terjadi, maka menjadi pupuslah harapan masyarakat untuk memperoleh pemimpin yang aspiratif.

Resistensi Partai Politik

Keputusan MK telah memberikan kesempatan bagi tokoh-tokoh yang merasa mampu untuk tampil dalam pilkada tanpa melalui jalur partai politik, yang selama ini memegang hak eksklusif dan hak monopoli dalam seluruh proses pilkada. Namun, bagi partai politik keputusan MK ini telah dianggap menggerogoti kekuasaan partai politik dan sekaligus telah mendelegitimasi keberadaan partai politik dalam sistim demokrasi perwakilan yang selama ini dianut di Indonesia. Berbagai tanggapan muncul sebagai reaksi terhadap keputusan MK, terutama reaksi pemerintah dan para politisi dari elite-elite partai politik. Pernyataan paling jelas dari pemerintah dan partai politik tentang penolakan ini adalah Calon Independen dimungkinkan dengan syarat harus memperoleh dukungan 15 % dari calon pemilih. Tentu saja syarat itu merupakan hal yang tidak masuk akal dan menyesatkan. Pernyataan itu merupakan suatu indikasi bahwa pemerintah dan partai politik tidak rela dan tidak menginginkan adanya calon independen dalam pilkada.

Tentu saja pemikiran ini harus ditolak secara tegas, jika kita ingin komitmen terhadap pengakuan atas hak-hak politik warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi. Kita tidak boleh mundur, hanya karena adanya penolakan dari elite-elite partai politik. Justru, yang harus didorong adalah agar segera dilakukannya revisi atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 khususnya tentang syarat pencalonan dalam pilkada, sehingga ada payung hukum yang memberikan kesempatan kepada Calon Independen sebagai implementasi dari keputusan MK tersebut.

Kesempatan bagi Parpol untuk berbenah diri

Putusan MK tentang calon independen dalam Pilkada dapat dikatakan merupakan kemenangan bagi upaya manifestasi demokrasi yang melepaskan kungkungan dari belenggu kekuasaan partai politik selama ini. Partai-partai politik sudah pasti tidak akan lagi menjadi satu-satunya kendaraan politik bagi calon yang ingin tampil dalam pilkada. Karena konstelasi politik langsung berubah, partai politik bukan satu-satunya pintu menuju kekuasaan. Realitas ini sudah sepatutnya mendorong partai politik harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini.

Partai politik harus mengambil hikmah dengan perubahan sistim ini, bukan malah menghambat proses demokratisasi yang terus bergulir seperti bola salju. Sudah sepatutnya partai politik mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai wahana rekrutmen kader-kadernya sebagai calon pemimpin yang mempunyai dedikasi, mumpuni dan pro rakyat, yang dapat memahami denyut nadi aspirasi rakyat.

Kini saatnya bagi partai politik untuk merevisi dan merefitalisasi platform dan kinerjanya, terutama dalam mengembangkan demokrasi. Realitas politik ini harus menjadi pelajaran berharga bagi partai politik untuk intropeksi dan berbenah diri, terutama dalam proses rekrutmen kader-kadernya. Dengan demikian fenomena jual beli kursi dengan “uang mahar” yang luar biasa mahalnya, sebagai dampak negatif dari perilaku kader-kader parpol yang memanfaatkan kesempatan pencalonan dalam pilkada sebagai alat untuk “memeras” calon yang mau tampil dalam pilkada dapat dihilangkan atau setidaknya diminimalisir.

Selamat Datang Calon Independen Di PILKADA!

Penulis :

M.Hasoloan Sinaga

Advokat dan Kordinator Forum Penulis dan Jurnalis Independen (FPJI)

Tinggal di Bogor

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home