Sunday, September 24, 2006

RIMBA CUKONG KAYU

SETIDAKNYA ada dua pelajaran penting dari penangkapan Adelin Lis, pengusaha kayu asal Medan, di Beijing, pekan lalu. Pertama, Kedutaan Besar Republik Indonesia ternyata dapat menjadi mitra yang awas dan sigap dalam membekuk buron polisi. Kedua, peristiwa itu mengingatkan kembali pentingnya Kapolri Jenderal (Pol.) Sutanto serta Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban bergandengan tangan lebih erat, agar institusi yang mereka pimpin lebih kompak dalam mengejar para buron pembalakan liar yang mencari selamat ke luar negeri.
Adelin, 49 tahun, raja kayu asal Medan, masuk daftar pencarian orang (DPO) Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada Februari lalu. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan mencatat dua perusahaan milik Adelin merugikan negara Rp 674 miliar karena tidak membayar setoran hasil hutan dan dana reboisasi sejak tahun 2000.
Dari tim ahli Kementerian Negara Lingkungan Hidup, datang jumlah yang jauh berlipat: Rp 227,02 triliun. Angka jumbo ini dirinci dari potensi kerusakan hutan, kerugian ekonomi, serta biaya pemulihan lingkungan. Maka, polisi Sumatera Utara pun memburu Adelin. Eh, yang diburu lebih sigap.
Kabur ke luar negeri, dia bebas melanglang, sebelum terbekuk empat staf Kedutaan Indonesia di Beijing. Penangkapan itu diberitakan amatlah seru, mirip adegan film-film kungfu Mandarin. Satu hal, para pegawai Kedutaan Indonesia yang babak-belur dihajar kaki tangan Adelin patut mendapat hormat kita. Mereka seakan memberi contoh yang patut tentang kegigihan warga sipil menghadang buron tersangka kejahatan.
Kita gembira, tapi tidak perlu bersorak-sorai. Sebab, dalam peta besar pembalakan liar, Adelin hanyalah sumbat bejana. Namanya bahkan tidak masuk dalam daftar 50 pembalak kakap yang disodorkan Menteri Kaban kepada Kapolri dan Jaksa Agung pada 2005. Artinya, masih banyak pemakan kayu liar yang hasil kejahatannya belum terdata. Sangat mungkin kerugian negara akibat barisan pemangsa kayu liar itu di atas Rp 45 triliun per tahun—angka laporan Menteri Kehutanan tahun lalu.
Singkat kata, cukong sekelas Adelin, juga deretan cukong kakap kayu gelap, harus segera disasar polisi. Identitas mereka tercantum jelas dalam daftar Menteri Kaban. Tempat pelarian mereka juga terang-benderang: Hong Kong, Singapura, Malaysia, Cina, selain Indonesia, tentu saja.
Semestinya, melalui kerja sama dengan berbagai pihak, polisi bisa membuat daftar ”pengusaha-wajib-kejar” yang disodorkan Menteri Kehutanan segera menjadi lebih pendek. Tak gampang, karena penjahat jenis pemakan kayu ini seakan tak pernah jera. Bulan April lalu, Kapolri Sutanto berjanji: ”Tidak ada lagi pencurian kayu tahun ini.” Saat itu, kepada DPR, Sutanto melaporkan selama 2005 polisi menuntaskan 985 kasus yang melibatkan 1.229 tersangka di seluruh Indonesia. Ternyata, pada 2006, masih juga hutan kita disikat. Dua bulan pertama 2006, menurut Kapolri, lebih dari 500 orang ditangkap, termasuk tiga cukong kakap.
Para penjahat itu memang bekerja dalam kelompok besar, bertali-temali dengan banyak orang di dalam dan luar negeri. Inilah ”rimba cukong kayu” nan luas. Mereka punya kuasa penuh, termasuk terhadap sebagian aparat di dalam instansi pemerintah. Kepala Dinas Kehutanan Mandailing, misalnya, telah menjadi tersangka. Polisi juga memeriksa secara intensif Bupati Mandailing Natal—yang memiliki otonomi atas hutan yang dibabat Adelin, Raja Kayu Sumatera itu.
Kalau aparat itu bersalah, mereka patut dikutuk dan dihukum. Tapi ini bukan berita baru. Pada Oktober 2002, majalah ini melakukan investigasi pembalakan kayu besar-besaran di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, salah satu kawasan hutan konservasi terluas. Jutaan kubik kayu langka dicuri dari situ. Bisnis haram itu melahirkan seorang ”raja lokal” yang kala itu menjadi orang penting yang mewakili daerahnya di Jakarta.
Nama sang ”raja lokal” masih ada dalam daftar Menteri Kaban sebagai pelaku pembalakan yang harus diperiksa. Dua kemungkinan bisa terjadi. Polisi mampu mengejar yang kelas teri tapi loyo di depan yang kelas kakap. Atau, para pemain ini mempunyai jaringan luar biasa sehingga aparat dan hukum seakan majal saat bersentuhan dengan mereka.
Tak ada pilihan lain. Perang melawan mafia harus dirancang lebih terencana, tak cukup hanya menjadi agenda kerja wajib dari satu presiden ke presiden yang lain, termasuk agenda Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itu bisa dimulai dari kerja sama polisi dan Departemen Kehutanan, dengan menyusun bersama daftar pemakan kayu yang harus diburu. Kalau perlu, daftar buron pembalak liar ditempel di tempat-tempat umum di berbagai pelosok negeri, agar rakyat bisa ikut melaporkan di mana para pencoleng kayu itu berada.
Terhadap kejahatan yang sudah menimbulkan kerugian tak terperi, cara-cara yang tidak konvensional mungkin perlu dilakukan. Penangkapan di Beijing bisa jadi awal perang yang tampaknya akan panjang itu. (MBM TEMPO : Edisi. 30/XXXV/18 - 24 September 2006)



Saturday, September 16, 2006

Merdeka dan Liberal
Oleh: Ahmad Sahal
Di negeri ini, orang sangat mudah memekikkan kata “merdeka” tapi sangat mudah curiga dengan kata “liberal”. Bagi mereka, “merdeka” menerbitkan citra yang positif, misalnya merdeka sebagai “bebas dari penjajahan” dan “bebas dari dominasi asing”. Dengan kata lain, suatu kemandirian.
Sebaliknya, liberal dan liberalisme mengandung konotasi didominasi oleh asing. Ia merupakan barang impor yang bukan hanya tidak cocok dengan kita melainkan juga akan menjadi polusi bagi identitas kita. Maka Jaringan Islam Liberal (JIL) begitu sering dicemooh dan dihujat gara-gara membawa label “liberal”. Seakan-akan dengan adanya ajektif “L”, jaringan ini justru akan melemahkan “I”-nya dan hanya memenuhi pesan sponsor dari Barat. Tapi adilkah prasangka semacam ini?
Sejatinya, prasangka terhadap liberalisme dan JIL sudah menjurus kepada su’uzon. Ini tidak perlu terjadi kalau kita menengok sejarah pemikiran politik Barat yang menjadi tempat kelahiran liberalisme.
Dalam khasanah pemikiran politik Barat klasik, istilah “liberal” bertaut erat dengan dikotomi antara “liber” dan “servus”. Yang pertama mengacu pada “warga negara” yang bebas, yang kedua berarti “budak” yang tidak bebas karena senantiasa berada dalam dominasi tuannya. Dalam pengertian klasik, “liber”, sang warga negara bebas dalam arti tidak berada dalam dominasi siapapun. Inillah pengertian bebas dalam tradisi republik.
Apa itu kebebasan republikan? Philip Pettit, profesor teori politik dari Princeton University menegaskan, prinsip kebebasan yang terangkum dalam republikanisme adalah “non-dominasi”. Saya bebas sejauh saya tidak berada dalam cengkeraman dominasi pihak lain, baik itu dominasi dari dalam (misalnya kekuasaan yang tiranik) maupun dari luar (penjajahan). Bebas di sini berarti bahwa menjadi warga negara berarti meneguhkan kemandirian. Ia bukan budak dari siapapun, entah itu negara, individu, atau masyarakat.
Perhatikan, bahwa apa yang sekarang ini kita pekikkan sebagai “merdeka” sesungguhnya mengandung arti kebebasan dalam artinya yang klasik yang tumbuh subur dalam sistem republik. Merdeka berarti realisasi dari “liber”, sang warga yang bebas. Harap dicatat, di sini merdeka dan liberal bisa saling bertukar tempat.
Selain itu, pengertian liberal dalam artinya yang modern juga tidak lepas dari perlawanan terhadap ketidakadilan. Liberalisme yang lahir di Eropa abad 17 bertaut erat dengan perlawanan terhadap ketidakadilan kekuasaan monarki. Liberalisme lahir sebagai upaya untuk melindungi hak-hak sipil warga negara dari kekuasaan absolut sang raja. Ada semacam penegasan bahwa hak-hak sipil, terutama hak milik pribadi, tidak bisa begitu saja diklaim oleh sang raja, atau menjadi milik sewenang-wenang dari kaum aristokrat.
Makanya tidak heran kalau semangat liberalisme adalah pembatasan kekuasaan tiranik dan absolut yang datang dari manapun agar setiap warga punya kebebasan untuk menikmati hak-hak sipilnya dan mengembangkan dirinya sendiri. Kekuasaan mesti dikontrol dan diawasi agar tidak mencaplok kebebasan individu.
Meskipun liberalisme lahir dan berkembang di Barat, tapi esensinya, yakni “emoh terhadap kekuasaan tiranik demi melindungi hak-hak warga negara” merupakan kebajikan yang relevan dengan masyarakat non Barat, termasuk kita umat Islam.
Pada titik ini saya teringat pada Rifa’ah Tahtawi, pembaru uslim dari Mesir abad 18 yang menjadi pendahulu Afghani dan Abduh. Tahtawi pernah tinggal di Paris selama lima tahun dan menyaksikan dari dekat sistem politik, tata budaya, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Perancis yang sedang bergairah mengamalkan Pencerahan. Seperti terekam dalam bukunya Takhlis al-Ibriz ila talkhis al-Bariz (baru-baru ini diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi An Imam in Paris), Tahtawi tertarik dengan konsep kebebasan di Eropa yang memberi tempat pada hak-hak individu dan sangat antipati dengan absolutisme kekuasaan yang menurut sangkaan awal Tahtawi tidak dikenal dalam tradisi politik Islam. Tapi semakin lama ia mendalami kebebasan Eropa, Tahtawi akhirnya berkesimpulan bahwa apa yang disebut oleh manusia Eropa sebagai kebebasan sesungguhnya sedikit banyak paralel dengan konsep keadilan dalam Islam. Bukankah Islam menyerukan agar penguasa bersikap adil? Bukankah keadilan dalam Islam adalah pernyataan antipati terhadap kekuasaan yang zalim?
Jadi, kalau kita memang serius merayakan kemerdekaan dan melawan ketidakadilan, tidak ada alasan untuk menolak semangat liberalisme. Merdeka? Yes! Liberal? Siapa takut!
*Penulis adalah penggiat liberal yang meraih gelar master (MA) dalam bidang teori politik di Universitas New York, Amerika Serikat (2006)/Diedit dari Situs Kedai Kebebasan.org.

Sekali Lagi tentang Putusan MK
Oleh : Trimedya Panjaitan

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan fungsi pengawasan Komisi Yudisial masih menyisakan kontroversi. Tulisan ini akan mencoba menya- jikan beberapa catatan penting tentang putusan tersebut.
Catatan pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan sebagian pasal UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), merupakan pembelajaran bagi DPR. Sebab ini, untuk yang kesekian kalinya sebuah UU, produk legislasi dari DPR, dibatalkan oleh MK.
Selain UU KY, banyak UU yang dibatalkan sebagian pasalnya, antara lain, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendidikan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Ada juga UU yang dibatalkan sepenuhnya, yakni UU Nomor 16/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa bom Bali menjadi UU.
Banyaknya UU yang dibatalkan MK menandakan produk hukum DPR bersama pemerintah itu bermasalah. Ini juga mengindikasikan lemahnya kesadaran konstitusionalisme dari pembuat UU. Ke depan, kualitas UU harus ditingkatkan.
Positif dan Negatif
Catatan kedua,
adalah penyikapan terhadap putusan MK tersebut. Harus diakui putusan MK tersebut memiliki sisi positif. Putusan MK merupakan momentum untuk memformulasikan kembali sistem pengawasan terhadap hakim. Sebab selama ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang lingkup dan prosedur pengawasan hakim.
Salah satu yang jadi perdebatan hukum selama ini adalah cara pengawasan KY dengan menilai putusan hakim atau pengawasan yang bersifat teknis yudisial. Cara ini dipandang melanggar independensi peradilan, dan MA sudah berulangkali menyampaikan keberatan. Seharusnya pengawasan KY hanya sebatas pengawasan etik terhadap perilaku hakim.
Kemudian, merujuk Pasal 24B UUD 1945, dalam konstitusi tidak disebutkan secara eksplisit tentang fungsi pengawasan hakim oleh KY. Yang ditegaskan adalah wewenang KY untuk menjaga kehormatan, martabat, dan perilaku hakim. Jadi, pelaksanaan wewenang itu dengan cara pengawasan terhadap perilaku hakim, prosedurnya harus diatur secara sedemikian rupa sehingga tidak justru menyebabkan tercemarnya kehormatan dan martabat hakim.
Tapi, putusan MK bukannya tanpa kelemahan. Yang mencolok adalah putusan MK yang mengecualikan hakim MK sebagai objek pengawasan KY. Putusan ini bertentangan dengan prinsip check and balances yang menjadi semangat utama yang melandasi perubahan UUD 1945.
Putusan MK yang "menguntungkan" dirinya sendiri ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Sebelumnya MK pernah membatalkan Pasal 50 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK yang membatasi kewenangan MK untuk menguji UU hanya pada UU yang dibuat setelah adanya perubahan atas UUD 1945. Dengan demikian kini MK memiliki wewenang untuk menguji seluruh UU tanpa batasan waktu. Pembatalan Pasal 50 itu sendiri sebagai pintu masuk untuk menguji UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri.
Putusan MK dalam permohonan uji materiil terhadap UU KY ini menimbulkan wacana tentang perlunya dilakukan revisi terhadap UU MK. Sebab berdasar prinsip check and balances, tidak ada lembaga yang superbody dan tidak dapat diawasi, dan MK telah menjadikan dirinya seperti itu.
Karena itu perlu ada pembatasan kewenangan MK, antara lain, dengan membatasi materi pengujian yang menjadi kewenangan MK, yakni membedakan antara judicial review (kewenangan MK) dan legislative review (kewenangan legislatif). Dengan demikian revisi terhadap UU MK perlu menjadi prioritas seperti halnya revisi terhadap UU KY.
Bukan Lonceng Kematian
Catatan ketiga, putusan MK bukanlah kiamat atau lonceng kematian bagi proses reformasi peradilan atau gerakan membersihkan dunia peradilan. Putusan MK bukan genta kemenangan bagi pelaku mafia peradilan.
Putusan ini memang praktis akan menyebabkan kemunduran dalam pelaksanaan pengawasan eksternal terhadap kekuasaan kehakiman.
Tapi, bukankah lebih baik mundur sejenak untuk kemudian mengayun langkah yang lebih mantap, daripada terus maju tapi membentur tembok?
Kita mundur sejenak untuk merevisi UU KY, untuk merumuskan kewenangan pengawasan hakim oleh KY secara rinci, baik itu tentang prosedur pengawasan, subjek yang mengawasi dan objek yang diawasi, instrumen yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan.
Juga perlu dilakukan sinkronisasi dengan UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA, UU KY, dan UU MK. Dengan demikian pelaksanaan pengawasan terhadap hakim oleh KY tidak lagi mendapat resistensi dari MA seperti yang selama ini terjadi.
Revisi terhadap UU KY diharapkan bisa segera dilakukan. Di kalangan anggota Komisi III DPR sudah mulai ada kesepahaman agar program revisi UU KY menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Dalam merevisi UU KY, Komisi III DPR akan memanggil orang- orang yang terlibat dalam merumuskan perubahan ketiga UUD 1945 untuk mengetahui spirit mereka (para perumus UUD 1945) sehingga dicantumkan KY dalam UUD 1945, serta mengundang pakar hukum tata negara, dan mendengarkan aspirasi KY, MA, MK, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Sambil menunggu proses revisi, KY tetap bisa menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai UU, seperti melanjutkan pelaksanaan seleksi calon hakim agung. Diharapkan seleksi tersebut dapat menghasilkan hakim agung yang berkualitas dan berintegritas sehingga dapat mempercepat jalannya reformasi peradilan.
*Penulis adalah Ketua Komisi III DPR RI (Disadur dari Suara Pembaruan)

Sunday, September 03, 2006

Rumah Ibadah, Mengapa Selalu Bermasalah?
Oleh: Trisno S Sutanto

Rasanya sulit dipahami akal sehat, di sebuah negara yang mengaku "Ketuhanan yang Maha Esa" sebagai raison d'être-nya, pembangunan rumah ibadah justru jadi masalah yang sangat pelik dan merepotkan banyak pihak. Begitu pelik dan merepotkan, sehingga banyak orang layak bertanya-tanya: Mengapa izin membangun rumah ibadah jauh lebih sulit diurus ketimbang membangun diskotek atau night club? Sebenarnya apa yang salah dengan rumah ibadah?
Celakanya tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan yang sederhana itu. Di balik persoalan yang tampaknya sepele-coba, apa sulitnya membangun sebuah tempat yang, kemudian, dipakai sebagai rumah ibadah, sesuatu yang jauh lebih mulia ketimbang tempat maksiat-justru terselip rajutan berbagai soal yang bagai benang kusut, mulai dari ketidakpahaman (dalam artian ignorance), pengalaman marjinalisasi yang menyakitkan, riwayat dendam dan permusuhan berabad-abad, sampai kepentingan dan kalkulasi politik maupun ekonomi sesaat.
Esai ini tidak berpretensi mau memberi penyelesaian-saya curiga, penyelesaian menyeluruh soal ini mungkin tidak akan pernah dapat dicapai. Begitu juga, esai ini tidak punya pretensi menyibak rajutan benang kusut yang melatari kompleksitas persoalan rumah ibadah. Dibutuhkan penelitian menyeluruh yang jangkauannya di luar kemampuan esai ini-sekalipun, pada saat bersamaan, perlu dicatat persoalan rumah ibadah selayaknya dilihat kasus demi kasus dengan seluruh kompleksitasnya, dan tidak mudah terjebak ke dalam praktik serba gebyah-uyah yang sembrono.
Dua Rajutan
Apa yang mau diusulkan di sini adalah ancang-ancang awal untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh yang masih harus dikerjakan. Jelas, untuk itu dibutuhkan penyederhanaan. Saya akan mengambil dua rajutan sebagai pintu masuk untuk melihat kompleksitas itu. Pertama, pada tataran paguyuban keagamaan, soal ketidakpahaman (dalam artian ignorance tadi), dan miskinnya informasi dasar yang mencerminkan religious illiteracy akut dalam pendidikan keberagamaan. Padahal informasi sederhana ini bisa berakibat panjang.
Ambil contoh sehari-hari. Jarang orang paham bahwa karena latar formasi historisnya yang sangat kompleks, umat Kristiani membutuhkan gedung ibadah berbeda-beda guna menampung denominasi yang berbeda-beda pula. Seorang anggota gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), misalnya, tidak dapat begitu saja beribadah di gedung gereja GKJ (Gereja Kristen Jawa) atau gereja Pantekosta, apalagi di gereja Katolik, sekalipun gedung gereja itu dekat dengan lokasi rumahnya.
Ini punya implikasi penting: kalau data yang ada memperlihatkan bahwa gedung gereja terus bertambah (Depag pernah mengatakan angka pertambahan gedung gereja yang fantastis: lebih dari 100 persen!), maka gejala itu tidak secara otomatis berarti penambahan umat kristiani, sebagai akibat "kristenisasi" atau "pemurtadan" yang sangat menggelisahkan banyak orang.
Ketiadaan informasi sederhana yang akut itu menambah kompleks dan keruh persoalan rumah ibadah, malah memancing reaksi penyikapan dan tindakan yang ekstrem. Masalahnya jadi begitu kompleks ketika diletakkan pada konteks rajutan.
Kedua, perasaan terpinggirkan (atau dipinggirkan?). Saya selalu ingat cerita seorang teman, aktivis Muslim modernis, ketika ia pertama kali tiba di Jakarta tahun 1960-an. Di jalan-jalan besar yang ditemuinya hanyalah bangunan gedung gereja megah, sementara masjid dan surau terletak di gang-gang sempit, becek, dan bau. Ia mengaku jujur pada saya, waktu itu dalam hati ia mengumpat,
Syukurlah, teman saya hanya mengumpat dalam hati. Kini dia malah dikenal sebagai salah satu tokoh penggiat pluralisme yang tidak kunjung lelah berusaha membangun jembatan saling pengertian antarkelompok. Tetapi, sekalipun lingkungannya sudah jauh berubah, di balik cerita sederhananya itu bisa menjadi warisan kecurigaan yang menjadi subkultur relasi Islam-Kristen sampai sekarang. Rezim Orba, yang dibangun di atas marjinalisasi umat Islam, setidaknya sampai 1990-an, telah menanamkan akar kecurigaan antarkelompok yang sangat dalam dan akan terus menjadi mambang dalam setiap relasi antar umat beragama. Ditambah dengan religious illiteracy yang sudah disinggung di atas, maka persoalan pembangunan rumah ibadah menampilkan kisi- kisinya yang sangat kompleks.
Kini jadi jelas, persoalan pembangunan rumah ibadah tidak dapat dibahasakan melulu dalam bahasa universal HAM, maupun jaminan konstitusional dan kemauan politik pemerintah. Bukan saja karena bahasa HAM maupun jaminan konstitusional itu belum menjadi legally binding products yang dapat diterapkan secara konkret, tetapi juga karena persoalan itu mencerminkan pergulatan sosio-historis yang ranahnya melangkaui urusan legalitas semata. Kontroversi diskursus Peraturan Bersama Menag-Mendagri (selanjutnya: PBM) No 9/2006 dan 8/2006 memperlihatkan soal itu dengan gambling).
Politik Perukunan
Pertama-tama perlu dikatakan bahwa PBM bukan sekadar revisi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag-Mendagri No 01/BER/ mdn-mag/1969 yang telah menuai banyak kontroversi, tetapi kebijakan yang sama sekali baru dan melangkaui kewenangannya sebagai peraturan setingkat Menteri. Memang PBM-berbeda dengan SKB yang semena-mena diputuskan-digodok bersama institusi-institusi keagamaan dalam negosiasi yang alot. Begitu juga, dibanding SKB, PBM memberi ketegasan soal syarat-syarat (psl 13 dan 14) untuk mengurus ijin mendirikan rumah ibadah serta tenggat waktu yang lebih jelas: paling lama 90 hari setelah permohonan diajukan, kepastian ijin sudah harus diberikan (psl 16:2). Masalahnya, PBM tidak mencantumkan sanksi apa yang akan diberikan jika ketentuan ini dilanggar.
Tetapi, yang jauh lebih problematis, PBM menciptakan mekanisme dan forum yang nantinya akan memegang peranan sentral: Fo- rum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)-sesuatu yang melampaui kewenangannya sebagai peraturan setingkat menteri! Forum ini nantinya akan menjadi mekanisme satu-satunya untuk menata, mengatur, dan mengendalikan relasi antarumat beragama, dan menjadi pemegang monopoli rekomendasi ijin pembangunan rumah ibadah.
Sangat kuat dugaan bahwa FKUB akan menjadi ujung tombak dari apa yang saya sebut sebagai "politik perukunan", proyek paling ambisius Depag di masa Orde Baru, di mana kerukunan tidak dilihat sebagai hasil praktik perjumpaan sehari-hari dalam masyarakat majemuk, melainkan sebagai sesuatu yang perlu diatur, diawasi, dan dikendalikan oleh tangan-tangan kekuasaan.
Asumsinya, masyarakat sendiri-termasuk di dalamnya institusi-institusi keagamaan!-tidak mampu menjaga kerukunan, sehingga dibutuhkan tangan-tangan Negara. Asumsi inilah yang dulu, pada tahun 2003, dijadikan landasan Depag mengusulkan Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) yang penuh kontroversi. PBM, dengan penciptaan FKUB-nya, adalah "anak tidak sah" RUU KUB tersebut.
Masih terlalu pagi untuk menilai seberapa efektifkah PBM dan FKUB. Tetapi dengan melihat watak dasar "politik perukunan" yang menjadi paradigmanya, dan dengan religious illiteracy serta warisan serba-curiga yang menandai relasi antar-pemeluk agama selama ini, saya khawatir FKUB akan mudah dijadikan ajang kontestasi untuk mempertahankan supremasi mayoritas di suatu wilayah-sembari menafikan kelompok-kelompok minoritas di wilayah tersebut. Apalagi sebagai pemegang monopoli rekomendasi izin pendirian rumah ibadah, FKUB juga rentan menjadi sarang korupsi.
Jadi, menurut saya, sudah tiba waktunya institusi-institusi keagamaan memainkan peran lebih besar dengan secara kritis mengawasi sepak terjang FKUB. Wadah ini, sungguh, akan sangat menentukan wajah relasi antar umat beragama di masa mendatang dan, pada gilirannya, menentukan apakah Indonesia memang masih menjadi "rumah bersama" bagi setiap kelompok.
Penulis adalah koordinator program MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama), Jakarta