Wednesday, February 21, 2007

Tidak Ada Kebijakan Kesehatan Pro Rakyat Miskin
Oleh: E. Musyadad[1]

Di punggung gunung Wilis, sebuah dusun yang bernama Dasun Desa Joho Kecamatan Semen Kabupaten Kediri, tiga tahun yang lalu masyarakatnya berduka. Ada seorang perempuan yang mati karena diserang sakit. Pihak keluarga tidak bisa membawa ke rumah sakit karena alasan biaya. Sebelumnya, ongkos berobatnya sudah ditanggung warga dusun dengan iuran sebagai bentuk solidaritas. Namun, swadaya warganya itu tidak menolong, karena sakitnya sangat mahal, stroke dan komplikasi. Mantri yang merawatnyapun tidak bisa setiap hari didatangkan. Mantri hanya datang setiap minggu sekali. Alasannya, selain finansial, jalan menuju dusun tersebut menaiki gunung dan jalannya rusak parah. Sehingga mantrinya juga “malas” ke dusun tersebut. Akhirnya, pada suatu malam ketika penyakitnya datang menyerang, keluarganya tidak kuasa.
Kejadian diatas, masih saja menggangu pikiran warga Dasun tersebut. Dari kasus diatas, khususnya para ibu-ibu kemudian berinisiatif membangun desanya. Mereka mendirikan sebuah organisasi yang disebut paguyuban perempuan Sido Rukun. Alasannya sederhana saja, agar desanya maju. Ekonomi warganya baik, jalan-jalan baik, solidaritas baik. Sehingga kematian seperti tiga tahun yang lalu tidak terulang lagi.
Cerita ini benar-benar terjadi di Dusun Dasun. Dan pasti juga terjadi di desa-desa lain yang terpecil di pelosok-pelosok Jawa Timur. Banyak penduduk miskin yang kesulitan mendapatkan perawatan cepat karena akses transportasi yang susah menuju rumah sakit yang ada di kota. Lalu, dimana letak tanggung jawab pemerintah agar kejadian kematian itu tidak terus terjadi? Pertanyaan inilah yang seharusnya kita renungkan. Apa sebebenarnya yang yang telah dilakukan pemerintah?
Selain karena keterbatasan jumlah dokter yang hanya ada di kecamatan, banyak orang miskin tidak bisa datang ke rumah sakit karena tidak memiliki ongkos. Jika mereka ke dokter, biayanya tidak murah lagi. Ongkos dokter sekarang mahal, demikian disitir Iwan Fals dalam lagunya sekitar tahun 90-an dan realitasnya sekarang semakin mahal saja. Akhirnya, penduduk miskin tidak lagi ada sandaran untuk menikmati hidup sehat. Nah, apakah dengan demikian menjunjukkan tidak ada kebijakan kesehatan yang pro rakyat miskin? Sudah pasti bisa dikatakan demikian.
Membicarakan kesehatan yang pro rakyat, banyak hal yang sebenarnya harus dilihat. Kesehatan pro rakyat ini seharusnya tidak melulu urusan dokter, obat-obatan atau rumah sakit serta puskesmas. Tetapi juga harus membicarkan jalan-jalan yang rusak dan tidak bisa dilewati. Jika ada dokter dan biaya mudah sekalipun serta peralatan canggih di rumah sakit, tetapi untuk menuju tempat-tempat pelayanan kesehatan tidak bisa ditempuh, kesehatan itu sama saja bohong. Inilah yang sering dilupakan pemerintah kita. Hak rakyat untuk menikmati hidup sehat disimplifikasikan dengan memberi program Jaring Pengaman Sosial. Sebuah kebijakan yang tidak berpikir panjang.
Kondisi kesehatan kita sangatlah buruk. Hal ini dapat dibaca dengan data-data angka yang sekarang ada. Anggaran kesehatan rakyat sering kali lebih kecil dari anggaran yang disediakan untuk para pejabat Negara yang jumlahnya sedikit. Sehingga, saat ini biaya kesehatan lebih banyak dikeluarkan dari uang pribadi, daripada memanfaatkan pelayanan kesehatan yang disediakan negara. Cakupan asuransi yang sangat terbatas, hanya meng-cover warga Negara yang bekerja di sektor formal. Akibatnya kaum miskin sama sekali tidak tersentuh manfaat dari pelayanaan kesehatan dari pemerintah.
Buruknya jaminan ini semakin mencekik keuangan kaum miskin kalau dilihat dari keberadaan fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan umum dari tahun ke tahun terus menurun, sebaliknya fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pihak swasta semakin menjamur sampai di desa-desa. Di sebagian besar wilayah Indonesia, sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan dan saat ini konon terhitung lebih dari dua pertiga fasilitas ambulans yang ada justru disediakan oleh pihak swasta. Dan juga lebih dari setengah rumah sakit yang tersedia saat ini bukan rumah sakit Negara, melainkan rumah sakit swasta.
Sedihnya, rumah sakit Negara justru pelayanannya semakin buruk, sehingga banyak yang tidak lagi percaya terhadap fasilitas pemerintah ini. Di Kabupaten Malang misalnya, ditengah rasa ketidak percayaan warga terhadap fasilitas pemerintah, justru RSUD Kepanjen Kabupaten Malang menaikkan tarif berobat sebesar 100% per 1 Mei 2006 kemarin. Hal yang tidak jauh berbeda di RSUD Jombang, dimana warganya tidak lagi melirik rumah sakit ini sebagai rujukan jika ada keluarganya yang sakit, karena pelayanannya semakin buruk saja.
Pada akhirnya, rakyat miskin semakin kehilangan hak-haknya atas kesehatan mereka. Gambaran tentang penduduk miskin kota yang tidak terlayani dengan baik karena fasilitas kesehatan yang buruk juga dialami di kalangan penduduk miskin desa. Saat ini, dokter Negara hanya dimiliki oleh penduduk se-kecamatan. Artinya ribuan orang yang tersebar di area satu kecamatan hanya dilayani oleh satu orang dokter. Bagaimana bisa rakyat miskin yang hidup terpencil mendapat pelayanan dari seorang dokter secara cepat dan intensif?
Semestinya, kita mencontoh Negara yang diisolasi oleh Amerika Serikat dan sebagian Negara di dunia seperti Kuba. Sistem kesehatan di Kuba cenderung preventif. Sistem mereka beda dengan Puskesmas di negeri kita, tetapi mereka memberlakukan “medicos familiars”, dokter keluarga. Satu dokter bertanggungjawab atas satu kampung (sekitar 1000 orang) dan tiap hari sang dokter-dokter itu keliling kampung. Jumlah tenaga dokter per kapita Kuba jauh lebih banyak dibandingkan negara manapun di dunia.

Mungkinkah ini dilakukan? Tidak ada yang tidak mungkin jika ini menjadi kebijakan politik. Selama ini justru dokter dan petugas kesehatan tidak terkontrol dan terdesentralisasi ke daerah pinggiran. Hal ini dikarenakan jumlahnya yang terbatas akibat sekolah-sekolah kesehatan yang biayanya mahal, sehingga penduduk yang miskin tidak mungkin mengirim anaknya belajar menjadi petugas kesehatan. Pelajaran dari Kuba itu harus menjadi inspirasi bahwa kita juga bisa memyiapkan kesehatan yang pro rakyat miskin. Adanya program desa siaga yang telah ditetapkan oleh menteri kesehatan dalam Kepmenkes No. 564/Menkes/SK/VIII/2006 patut kita dorong. Karena dalam desa siaga ini urusan kesehatan ditanggung oleh komunitasnya. Sehingga akan semakin ringan beban si pasien dan keluarganya khususnya yang berasal dari kelompok miskin.
Mungkin, bayangan pemerintah tentang desa siaga ini sama seperti yang dibayangkan oleh Paguyuban Perempuan Sido Rukun di pelosok Kediri itu. Gagasan kelompok ibu-ibu di punggung gunung Wilis itu menjadi catatan penting bagaimana urusan kesehatan bukan lagi urusan individu semata. Tetapi harus menjadi urusan komunitas. Sehingga, keluarga-keluarga yang miskin dapat terbantu mendapat akses kesehatan yang lebih baik dengan bantuan dari kelompok yang ada di dusun-dusun.
Namun, jika inisiatif rakyat ini tidak segera disambut pemerintah dengan kebijakan lain, program semacam ini justru tidak akan bisa berjalan. Hanya menjadi catatan kecil saja. Kasarannya, program seorang Menteri Kesehatan yang lingkupnya nasional itu, sudah sejak lama dikembangkan di sebuah dusun terpencil di Kediri. Kalau benar terjadi, betapa ironisnya situasi kesehatan kita.
[1] Penulis adalah staf Yayasan Madani Jombang, sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.